REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan apresiasi terkait program Reducing Emission from Deforestation and Degradation yang dilaksanakan di Indonesia.
"Saya mengapresiasi upaya-upaya Indonesia karena mampu menunda kerusakan hutan dan terus mencari inovasi baru pemanfaatan potensi hutan," kata perwakilan UNDP Helen Clark di New York, seperti dikutip dari siaran pers resmi Kementerian Luar Negeri, Kamis (25/9).
Clark juga setuju atas pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menegaskan pentingnya hutan untuk kaum miskin dan termarjinalkan, khususnya kaum perempuan. "Kaum perempuan sering berada dalam kondisi lebih papa dari kaum pria," lanjut dia.
Selain PBB, Norwegia melalui Menteri Lingkungan Hidup Tine Sundtoft juga memuji langkah Indonesia yang akan mengurangi karbon dioksida, dengan bantuan negara-negara sahabat, sebanyak satu miliar ton pada akhir 2020.
REDD+ adalah mekanisme bagi negara-negara dengan hutan primer untuk memerangi perubahan iklim dan pemanasan global dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, melestarikan hutan, dan memanfaatkan potensi hutan dengan cara-cara terbarukan.
Sebelumnya, di depan para pimpinan negara sahabat pada Forum Indonesia's REDD+ di New York, AS, Presiden SBY menekankan pentingnya program REDD+ untuk menjaga kenaikan suhu bumi di bawah dua derajat Celcius. "REDD+ adalah mekanisme yang sangat penting jika kita ingin tetap berada di bawah batas dua derajat Celcius di akhir abad ini," kata Presiden.
Salah satu implementasi REDD+ di Indonesia adalah moratorium (penundaan) pengeluaran izin pemanfaatan hutan gambut dan hutan tropis.
"Melalui moratorium ini, Indonesia berhasil melindungi 53 juta hektar lahan. Karena hasilnya positif, moratorium diperpanjang hingga tahun 2015 untuk menurunkan tingkat penggundulan dan kerusakan hutan secara drastis," tutur Presiden.
Menurut Presiden SBY ada empat pelajaran yang bisa dipetik dari implementasi REDD+ untuk Indonesia. "Pertama adalah perubahan cara berpikir tentang pemanfaatan hutan. Kedua perlunya melindungi komunitas lokal," papar SBY.
Ketiga, Presiden melanjutkan, harus melibatkan berbagai macam pemangku kepentingan: sektor swasta, LSM, masyarakat lokal dan pemerintah. Dan terakhir peran pemerintah yang kuat sebagai regulator.