Senin 06 Oct 2014 14:00 WIB

MA Dinilai Abaikan UU Lingkungan dalam Kasus Bioremediasi

Palu Hakim di persidangan (ilustrasi)
Palu Hakim di persidangan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan Mahkamah Agungyang mengabulkan tuntuntan jaksa soal korupsi dalam proyek bioremediasi terus menuai kritik. Menurut ahli hukum lingkungan, Linda Yanti Sulistiawati, putusan MA terhadap Ricksy Prematuri, Direktur PT Green Planet Indonesia (GPI) dan Herland Bin Ompo, Direktur PT Sumi Gita Jaya (SGJ) keduanya rekanan Chevron, dianggap telah mengabaikan UU Lingkungan yang seharusnya dijadikan landasan dalam mengadili perkara tersebut.

“Dakwaan terhadap keduanya dalam kasus ini terkait izin pengolahan limbah dan teknis pengerjaan bioremediasi serta dipakainya hasil pengujian atas sampel tanah yang dilakukan oleh jaksa yang semuanya terkait dengan peraturan dan undang-undang di bidang lingkungan," kata Linda di Jakarta, Senin (6/10).

"Jadi," kata dia melanjutkan, "semestinya kasus ini diselesaikan dengan hukum yang diatur dalam UU Lingkungan tersebut."

 

Menurut Linda, jika sebuah tindakan dianggap melanggar suatu Undang-Undang apalagi yang bersifat khusus seperti UU Lingkungan, maka penegak hukum semestinya secara konsisten menggunakan UU tersebut untuk mengadili perkara yang dimaksud. Apabila kemudian perkara tersebut memiliki keterkaitan dengan UU lain maka menurut Linda, perlu dipastikan juga apakah UU lain tadi memang menjadi dominan untuk mengadilinya.

Ia menyebut, jika penegak hukum berkesimpulan bahwa proyek bioremediasi tidak perlu dilakukan, sehingga dianggap 'proyek fiktif' atas dalih telah melanggar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup soal teknik bioremediasi dan Peraturan Pemerintah di bidang lingkungan terkait izin pengolahan limbah. Maka mengingat kedua aturan itu berada di wilayah UU Lingkungan maka semestinya UU lingkungan yang dipakai.

“Saya heran apabila UU Tipikor yang digunakan oleh MA untuk mendakwa dan memvonis dalam kasus ini karena kedua kontraktor ini hanya memiliki hubungan kontraktual dengan Chevron bukan dengan pemerintah dan bukan menggunakan uang pemerintah,” ujar Linda.

Kritik serupa disampaikan pemerhati hukum kontrak PSC, DR. Najib Ali Gisymar. Menurut Najib, kedua kontraktor ini hanyalah berkontrak secara perdata dengan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan tidak memiliki hubungan apapun dengan pemerintah. “Jadi tidak mungkin mereka (Ricksy dan Herland) bisa dituduh berbuat kriminal apalagi korupsi, sementara CPI tidak pernah mengeluh atas kinerja kedua kontraktornya tersebut. Urusan kontrak keduanya dengan CPI baik-baik saja, kok malah orang lain yang ribut. Ini tidak sejalan dengan prinsip yang diatur hukum perdata,” tegas Najib.

“Saya sangat sependapat dengan dissenting opinion Hakim Agung Leopold dalam kasus Ricksy yang menyatakan bahwa telah terjadi lompatan-lompatan logika yang menyimpang dari asas-asas hukum perdata sebagai acuan dalam memeriksa perkara proyek bioremediasi ini," ucap dia.

Selain itu menurutnya, sesuai fakta sidang Edison Effendi sebagai ahli pun sangat patut diduga memiliki konflik kepentingan karena dia saksi fakta dan sekaligus ahli, ditambah pihak yang pernah kalah tender.

Menurut Najib, jika dakwaan-dakwaan atas kedua rekanan Chevron ini mengacu ke UU Lingkungan, semestinya UU lingkungan yang bersifat lex specialist diterapkan bukan memakai UU Tipikor dan ini pun hanya jika unsur tindak pidananya terbukti.

“Apabila putusan MA ini dibiarkan menjadi yurisprudensi baru maka akan terjadi kekacauan luar biasa dalam penerapan hukum di Indonesia. Siapapun yang melakukan tindakan-tindakan yang meskipun diatur jelas oleh undang-undang tertentu namun jika tindakannya dianggap berpotensi merugikan negara, maka dapat dipidana korupsi,” imbuh Najib.

Jika tidak ada upaya hukum lainnya seperti Peninjauan Kembali (PK), ia berpendapat, maka maling uang di ATM bank milik pemerintah, maling motor pelat merah, maling bak sampah milik pemkot bisa dipidana korupsi bukan lagi sebagai maling tapi koruptor. "Bahkan telat bayar tagihan hutang ke bank pemerintah bisa diancam pidana korupsi karena tindakan itu dianggap bisa berpotensi merugikan negara," ucap Najib.

Karenanya, ia meminta Ketua MA turun tangan dalam kasus tersebut. "Karena ini bukan sekedar kasus hukum tapi persoalan kepastian dan kejelasan hukum dalam sebuah negara,” tukasnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement