REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan Presiden SBY melakukan kebohongan politik selama 10 tahun pemerintahannya. Presiden SBY dinilai melakukan politik dimana berbagai citra dibangun atas dasar imaginatif.
"Tidak ada kerja SBY dalam menjaga bahkan mengembangkan demokrasi yang lebih baik," ujarnya dalam diskusi bertema Politik Bohong dan Jegal-Jegalan, Mampukah Jokowi Bertahan? di Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (12/10).
Ray mencontohkan pengesahan UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), pengesahan UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah, sikap SBY yang berpura-puta mendukung Pilkada langsung tapi partainya walk our saat rapat paripurna di DPR, serta penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang dinilai imaginatif.
Menurutnya, UU yang disahkan tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus HAM dan tidak memelihara pluralisme. Ia mengatakan ada empat indikasi SBY melakukan politik kebohongan. Pertama, SBY tidak menjaga HAM. Contohnya, kasus pembunuhan munir, dan penghilangan aktivis 1998 tidak ditindaklanjuti.
Kedua, SBY tidak menjaga pluralisme, contohnya masih banyak kekerasan atas nama agama. Ketiga, SBY mendesain UU yang tidak memperkuat demokrasi. Keempat, dia mempertanyakan apakah SBY secara pribadi bertindak secara demokrasi.
"Praktiknya dalam partai, bagaimana bisa dia menjabat Ketua Umum dan ketua ini itu dalam waktu yang sama, tapi dalam waktu bersamaan dia mencitrakan dia serorang demokrat," katanya.
Dia berharap pemerintahan Jokowi-JK ke depan tidak mengulang politik SBY. Diharapkan Jokowi-JK bisa menerapkan politik Hikmah Kebijaksanaan. Yakni semua stakeholder mengedepankan kepentingan publik daripada pribadi. Kabinet oposisi maupun pemerintah harus terus berdialog dalam rangka membangun sinergi untuk masyarakat.
"Opsisi dan pemerintah bekerja sama bersinergis untuk menciptakan kebijakan yang paling bijak dan universal bagi kebaikan masyarakat Indonesia," ujarnya.