REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kebijakan bupati Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menerapkan poligami berbayar bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sedang dalam proses pembatalan. Aturan tersebut sejak diberlakukan telah menuai kritik dan kecaman serta tuntutan agar segera dicabut.
“Tidak benar, sebab aturan itu sama saja menjadikan perempuan sebagai alat atau sumber memeroleh Pendapatan Asli Daerah (PAD),” kata Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimas Islam Muchtar Ali kepada //Republika// pada Kamis (16/10).
Dijelaskannya, berdasarkan info dari kantor wilayah Kemenag di Lombok Timur, Gubernur setempat telah memanggil bupati terkait untuk melakukan pencabutan kebijakan. Gubernur pun sejak awal tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Di samping itu, Kementerian Dalam Negeri pun telah melakukan pemanggilan terhadap Gubernur setempat agar menyegerakan pencabutan kebijakan.
“UU perkawinan mengusung azas monogami, lagi pula, PNS tercegah untuk berpoligami karena beberapa pertimbangan,” tutur Muchtar.
Pertimbangan tersebut di antaranya PNS bersangkutan harus mendapatkan izin pengadilan, izin atasannya, dan juga tentunya izin dari isteri yang akan dimadu. Selain itu, PNS yang ingin berpoligami harus melewati tahap pemeriksaan mengenai kemampuan ekonominya. Agar ke depannya, ia dapat menjamin dapat membiayai isteri-isterinya secara adil dan cukup.
“Ini juga menyangkut masalah kinerja, teladan masyarakat, dan pencegahan untuk melakukan korupsi,” pungkasnya.
Dalam pemberitaan sebelumnya, terdapat aturan baru bagi PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, NTB bahwa bagi yang ingin berpoligami maka harus memenuhi seumlah persyaratan ang sebelumnya telah berlaku ditambah membayar kontribusi sebesar Rp1 juta untuk kas daerah.
Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Bupati Lombok Timur Nomor 26 Tahun 2014 terkait pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah.