Oleh: Harun Husein
Ada yang menyebut ahlul halli wal aqdi ini sepadan dengan parlemen, namun ada pula yang menilainya tak seperti parlemen.
Jika ahlul halli wal aqdi ini dianggap setara dengan parlemen, ada yang menilainya setara dengan sistem parlementer. Meski demikian, dalam sistem parlementer, partai berkuasa otomatis menjadi perdana menteri.
Atau model pemilihan presi den oleh MPR seperti yang diterapkan di Indonesia, di mana MPR meru pakan lembaga yang mewakili rakyat (political representation), mewakili daerah (regional representation), dan mewakili golongan (functional rep resentation).
Jika ahlul halli wal aqdi tak seperti parlemen, seorang pemikir Islam, Imaduddin Ahmad, menilainya mirip dengan dewan pemilih (electoral college) yang diterapkan di Amerika yang menganut sistem presidensial.
Di Amerika, meski para pemilih memilih surat suara berisi gambar presiden, namun pada hakikatnya mereka memilih para elector.
Jumlah elector dari setiap negara bagian ini disamakan dengan jumlah anggota DPR (House of Represen tatives) dan anggota Senat dari setiap negara bagian. Sehingga, jumlah to talnya pun hampir sama dengan jum lah anggota kedua lembaga tersebut, yaitu 435 DPR dan 100 Senat.
Namun, ditambah dengan perwakilan Washington DC, yaitu tiga kursi, sehingga total jumlah elector ini adalah 538. Elector-elector inilah yang kemudian memilih presiden. Meski demi kian, tak ada lagi musyawarah di kalangan elector, sebab mereka tinggal langsung berhitung siapa yang meraih 270 suara elector, dialah yang menjadi presiden terpilih.
Imaduddin Ahmad dan sejumlah pemikir lainnya, menilai demokrasi menyediakan tata cara untuk me lengkapi sistem syura. Misalnya dalam menominasikan siapa yang menjadi anggota ahlul halli wal aqdi lewat proses pemilihan.
Meski demikian, sejumlah ahli fikih telanjur memberi syarat ketat bagi ahlul halli wal aqdi, yaitu mereka harus ahli dan ber akhlak, bukan sekadar populer.
Di Indonesia, ahlul halli wal aqdi pernah diterapkan pada pemilihan Ketua Umum PBNU. Menurut NUOnline, cara itu diterapkan pada Muktamar ke- 24 di Situbondo pada 1984, meski tak diatur dalam AD/ART PBNU. Cara tersebut dipakai untuk mengatasi perpecahan, antara Kubu Situbondo dan Kubu Cipete.
Ahlul halli wal aqdi yang dite rapkan NU saat itu terdiri atas enam orang, mirip dengan panitia enam yang memilih khalifah Utsman bin Affan.
Keenam orang tersebut adalah KH Ali Maksum, KH Syansuri Badawi, KH Masykur, KH Ali Hasan Ahmad, KH Romli, dan KH Roffi Mahfudz. Hasilnya, mereka memilih KH Achmad Siddiq sebagai Rais Aam PBNU dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ketua umum Tanfidziyah.