REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemandirian pesantren dalam melangsungkan pendidikan Islam, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, telah terbukti sejak ratusan tahun lalu.
Makanya, pondok pesantren berpotensi menjadi salah satu unsur terbesar penguat kehidupan ekonomi masyarakat dalam naungan keuangan syariah.
Namun, untuk melakukan penjaminan kebutuhan ekonomi secara mandiri, harus disadari dulu potensi pesantren yang terbuka dalam memberdayakan ekonomi santri, kiayi dan masyarakat.
Diuraikan mantan ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi, cara mengawali langkah tersebut yakni dengan memanfaatkan transformasi kejuangan dari kiayi kepada santri, di mana hal tersebut tidak dimiliki lembaga ekonomi lainnya.
“Pesantren itu lembaga keilmuan ekslusif yang bergantung pada uswah atau contoh kiayinya,” kata kyai Hasyim Muzadi kepada Republika, Sabtu (8/11).
Karenanya, sambung pengasuh Pesantren Mahasiswa Al Hikam Malang dan Depok ini, pesantren menjadi model kehidupan yang karakter santrinya bergantung pada kiayi yang mengasuhnya.
Maka, yang perlu disadari, para kiayi pengurus pesantren menerapkan sistem kejuangan pesanten masa kini. Jika di masa perjuangan kemerdekaan dulu masyarakat kiayi dan santri berada di garda terdepan dalam membela kemerdekaan Indonesia, lantas pascamerdeka, Kiayi dan santri pun bergerak aktif dalam perjuangan mempertahankannya.
Maka kini, kyai Hasyim menyebut perjuangan santri adalah melawan kemiskinan dan perpecahan antarumat. “Ini tentu perlu sinergi dari berbagai pihak,” tuturnya menjelaskan.
Dengan menyadari fokus perjuangan pesantren masa kini, kemandirian ekonominya pun akan tersulut. Para pengasuh pesantren, kata dia, selain mengembangkan keilmuan juga dapat mengelola keuangan di masyarakat berdasarkan syariat agama.
Dampaknya, jelas kyai Hasyim, pesantren akan mandiri dan kuat ekonominya sehingga tidak dianggap beban Negara. “Tapi tetap pemerintah harus sedikit membantu kita yang bisa mandiri ini,” katanya menambahkan.