REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah ribuan tahun kaum Yahudi tersebar dan tinggal di berbagai negara tanpa punya tanah air, Pergerakan Zionisme mulai dibentuk pada akhir abad ke-19 oleh Yahudi sekuler, khususnya sebagai respon dari berkembangnya anti-semitisme di Eropa. Pergerakan politiknya baru didirikan oleh seorang jurnalis Austro-Hungarian, Theodor Herzl, pada 1897.
Di tahun ini pula, Theodor Herzl melakukan kongres Zionis pertama. Kala itu, pergerakan yang dilakukan merupakan upaya untuk mendorong migrasi orang-orang Yahudi ke Palestina yang kala itu di bawah kekuasaan Turki Ustmani.
Pada masa itu, posisi temple mount yang berada di Yerusalem masih dalam kekuasaan pemerintahan Turki Ustmani, sehingga otomatis pengelolaan Masjid Al-Aqsa maupun Kubah Shakhrah berada dalam pengawasan Turki Ustmani. Akan tetapi pada periode ini pula terjadi penurunan terhadap pengaruh besar kaum Yahudi dalam perdagangan dan harus rela posisinya direbut oleh Yunani.
Akses terhadap Temple Mount atau Bukit Suci bagi para warga non-Muslim termasuk Yahudi, tergantung pada sosok sultan yang memimpin. Kebanyakan dari sultan Turki Usmani bersikap toleran. Hanya saja, pada periode pemerintahan Sultan Murad III, kaum Yahudi dan non Muslim lainnya cukup mendapatkan tekanan dan tidak diizinkan untuk tinggal dekat masjid maupun gedung-gedung tinggi, yang otomatis membuat kaum Yahudi tidak dapat mengakses Temple Mount, karena di sana terdapat Masjid Al-Aqsa.