REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Sebanyak 160 pengunjuk rasa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang se-Pulau Lombok menggelar shalat jenazah di depan gedung DRPD Nusa Tenggara Barat sebagai cara menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi.
Ratusan anggota HMI Cabang Mataram itu berkumpul di Jalan Udayana depan Kantor DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), sehingga polisi menutup satu lajur agar kendaraan tidak melintas di lokasi unjuk rasa.
Unjuk rasa yang dikoordinasikan Khairul Fahri itu berlangsung damai di bawah pengawalan ratusan anggota polisi dari Kepolisian Daerah (Polda) NTB.
Usai menggelar shalat jenazah, para mahasiswa menggelar orasi secara bergiliran di jalan raya karena mereka tidak berhasil menemui para wakil rakyat yang sudah lebih dulu meninggalkan kantornya sebelum aksi unjuk rasa berlangsung.
Dalam orasinya, Khairul menilai rezim Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) merupakan manifestasi dari suara rakyat dari segala elemen yang dirasa akan dekat dan mampu merakyat.
Kabinet kerja yang dibentuk Jokowi-JK, kata dia, diharapkan menjadi kabinet yang pro rakyat. "Tetapi harapan dengan kenyataan ternyata tidak pernah seperti yang rakyat harapkan," katanya.
Oleh sebab itu, HMI cabang se-Pulau Lombok mendesak Presiden Jokowi segera mencabut kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12/2014 tentang APBN Perubahan.
Para pengunjuk rasa juga menuntut Presiden Jokowi memberantas mafia minyak dan gas yang selama ini terbukti menguasai jalur perdagangan minyak dan gas Indonesia.
Mereka juga mengutuk tindakan represif polisi dan Tentara Nasional Indonesia dalam setiap kegiatan pengamanan aksi mahasiswa, sehingga muncul banyak korban.
Usai berorasi, para pengunjuk rasa membubarkan diri dengan tertib, namun mereka berjanji akan datang berdemonstrasi kembali pada Senin (24/11), dengan jumlah demonstran yang lebih banyak.