REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar Rp 2.000 per liter, sangat dirasakan para nelayan di kawasan Teluk Lampung. Nelayan harus berpikir ulang untuk melaut karena untuk menutupi ongkos membeli solar sudah tidak sanggup lagi.
Sejak kenaikan BBM pada 18 November lalu, nelayan yang berada di sekitar Gudang Lelang dan Kotakarang, Bandar Lampung belum melaut kembali. Selain harga solar subsidi naik, nelayan juga sering kesulitan mencari solar eceran. Untuk membeli solar di SPBU menggunakan jeriken, mereka dilarang.
Menurut Parmin, nelayan di Gudang Lelang, belum melaut kembali setelah kenaikan harga BBM lalu. Ia masih berpikir ulang dan mengkalkulasi untung dan rugi bila melaut. "Kami harus hitung-hitung lagi biaya yang dikeluarkan dengan penghasilan yang bakal kami dapat," katanya, Ahad (23/11).
Ia menuturkan untuk melaut para nelayan rata-rata masih menunggu kondisi cuaca membaik dan ketersediaan solar di tempat mereka.
Saat ini, solar eceran belum datang dan masih menunggu orderan. Harga solar eceran ini bisa melebihi harga resmi Rp7.500 per liter. "Kami tidak bisa beli di SPBU, karena dilarang pakai jeriken," ujarnya.en
Sepinya nelayan melaut, membuat harga ikan di pasaran dan Gudang Lelang belum juga turun. Ikan giling jenis kiter yang sering dibeli orang di Pasar Gudang Lelang, berkisar Rp 27 ribu hingga Rp 28 ribu per kg, biasanya harga normal Rp 23 ribu hingga Rp 25 ribu per kg, sedangkan ikan giling jenis baji-baji mencapai Rp 38 ribu per kg, harga normalnya Rp 32 ribu- Rp 35 ribu per kg.
Menurut Warti, penjual ikan giling, sejak kenaikan BBM, omset penjuualan ikannya turun drastis 30 persen. "Sekarang sepi yang beli, karena harga ikan belum turun, juga karena BBM naik," ujarnya.
Ia menuturkan sepinya pembeli telah terjadi sejak adanya isu kenaikan BBM awal November lalu. Hal ini ditandai naiknya harga kebutuhan pokok termasuk ikan.