REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mengingatkan Pemkot Surabaya untuk merangkul warga dalam pembangunan trem yang dijadwalkan dimulai pada 2015 mendatang. Pasalnya, proyek tersebut berpotensi mengundang resistensi masyarakat.
Kepala Bidang Adokasi MTI Darmaningtyas berkata penolakan warga bisa disebabkan banyak hal. Salah satunya terkait proses pembebasan lahan. Berkaca dari pembangunan jalur bus Transjakarta (Busway) dan sekarang MRT di Jakarta, dia mengingatkan, potensi penolakan bisa menjadi ancaman serius saat tidak dikelola dengan tepat.
“Kami mengharap warga mendapatkan sosialisasi sejelas-jelasnya. Gagasan trem harus terus dikomunikasikan kepada publik untuk menghindari resistensi,” ujar Darmaningtayas dalam workshop menyoal isu-isu teknis rencana pembangunan trem yang digelar Pemkot Surabaya di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Kamis (4/12).
Menurut Darmaningtyas, komunikasi harus dilakukan secara serius, dengan mengagendakan secara rutin pertemuan dengan kelompok-kelompok masyarakat. Teknisnya, menurut dia, Pemkot bisa bermitra dengan LSM, termasuk lembaga konsumen. “Tak hanya sekedar memberikan informasi, komunikasi dengan publik juga untuk menjaring ide-ide dari masyarakat,” ujar dia.
Lebih jauh dia memberi gambaran, sosialisasi harus dilakukan mulai dari aspek rencana desain. “Jadi kasusnya tidak seperti di Jakarta. Pembangunan salah satu halte MRT berada di posisi yang sepi dari aktivitas masyarakat, itu ditertawakan warga,” ujar dia.
Proyek trem yang didanai negara melalui PT KAI direncanakan dibangun dengan mengaktifkan kembali jalur trem yang pernah ada di Surabaya. Jalur trem itu, disebut PT KAI merupakan aset mereka, sehingga proses pembebasan lahan dinilai akan lebih mudah.
Meski begitu, pembebasan jalur trem yang kini tertimbun di bawah aspal dan berbagai konstruksi perkotaan bukannya tanpa risiko. Sebagian besar, jalur tersebut bersinggungan dengan bangunan yang hari ini dimiliki masyarakat.