REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Presiden JokoWidodo telah menolak pengajuan grasi pada 64 terpidana mati kasus narkoba. Bahkan, beberapa waktu lalu Jokowi memerintahkan jajarannya untuk melakukan eksekusi terhadap terpidana narkoba yang sudah berketetapan hukum atau inkrah.
Penolakan grasi pada terpidana narkoba ini didasari atas dampak peredaran narkoba yang mengerikan bagi Indonesia. Pengguna narkoba bukan lagi masuk di usia remaja, bahkan juga anak-anak.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengatakan kasus narkoba sudah dianggap menjadi darurat nasional. Negara dirugikan sebanyaj Rp 4 triliun per tahun dari kasus ini. Selain itu, 40 orang meninggal karena narkoba. Sebab itulah Jokowi tidak akan memberikan grasi bagi bandar narkoba.
"Presiden berketetapan hati tidak akan memberikan grasi pada bandar narkoba karena mereka merusak bangsa," kata Laoly di Jakarta, Rabu (10/12).
Laoly menambahkan, kalau peredaran narkoba tidak dicegah dan bandar tidak diberi hukuman berat, maka Indonesia dapat kehilangan satu generasinya. Dari temuan Kemenkumham, pengguna narkoba bahkan sudah menyerang usia dini, sejak SMP.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi menganggap kejahatan narkoba adalah kejahatan yang sangat mengerikan di Indonesia. "Maka harus ada hukuman keras setimpal dengan kejahatan mereka," ujar politikus PDIP itu.
Yang lebih mengerikan lagi, bandar narkoba itu masih bisa membuat jaringan peredaran tingkat internasional meskipun sudah di lembaga pemasyarakatan. Itulah sebabnya, kata Laoly, Jokowi tidak mungkin memberikan grasi pada bandar narkoba. "Nanti kalau dibiarkan sipir-sipir bisa jadi agen narkoba," tegasnya.