REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tindakan berlebihan aparat pada terduga pelaku tindak terorisme di seluruh dunia dinilai diluar batas. Laporan Komite Senat Intelijen Amerika Serikat (AS) soal tindakan brutal Lembaga Intelijen CIA pada terduga pelaku terorisme membuka mata semua orang bagaimana aparat menghadapi seorang yang masih diduga teroris.
Ketua PBNU, Slamet Effendy Yusuf menilai operasi Intelijen terhadap persoalan terorisme bukan berdasarkan pada fakta-fakta yang menunjuk pada bukti, tapi lebih pada fakta yang menunjuk tersangka. Hal itulah yang membuat Intelijen selalu mengacu pada orang-orang terdekat dari terduga. Jadi, sikap represif selalu ditunjukkan oleh aparat Intelijen.
Menurut Effendy Yusuf, setiap orang harus diperlakukan secara manusiawi. Hal itu juga harus berlaku pada terduga teroris. Menurut dia, harus ada proses hukum yang jelas sesuai hak dalam hukum pada terduga teroris, bukan asal tembak ditempat. "Prinsip HAM harus tetap dijunjung tinggi, kalau tidak akibatnya akan lebih buruk," kata Effendy Yusuf pada Republika, Kamis (11/12).
Effendy Yusuf menambahkan, akibat yang lebih buruk atas tindakan brutal aparat menghadapi kasus terorisme ini adalah memunculkan benih-benih teroris baru. Selain dari tindakan terorisme aparat pada orang yang mungkin tidak bersalah atau kelompok tertentu, juga pada lahirnya orang-orang yang malakukan teror sebagai bentuk amarah dan balas dendam pada aparat. Hal itu, menurut Effendy Yusuf, sudah terbukti dengan adanya bom bunuh diri di kantor polisi.
"Motifnya tidak ideologis tapi dendam, obyeknya bukan ekspatriat tapi polisi," imbuh dia.
Lahirnya bentuk terorisme baru ini, kata Effendy Yusuf, bentuk balasan dari tindakan polisi dan Intelijen yang brutal. Mereka yang sebenarnya tidak memiliki ideologi terorisme menjadi lebih galak dan memiliki sentimen pada aparat serta Intelijen. Selain indonesia, terorisme baru ini juga muncul di negara-negara lain. "Ini akibat pengamanan dan tindakan berlebihan pada terorisme," tegas dia.