REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA—Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Surabaya mendesak Pemkot Surabaya tegas memberantas praktik pungutan liar (pungli) yang terjadi di kantor kecamatan, kelurahan serta lembaga layanan publik lainnya.
Desakan tersebut terkait temuan Ombudsman RI soal banyaknya indikasi pungli dalam pengurusan dokumen dan perizinan di Surabaya.
“Saya melihat,teknologi perizinan di Surabaya ini boleh dibilang yang paling unggul di Indonesia, ada Surabaya Single Window dan lain sebagainya. Tapi praktik di lapangan belum sesuai,” ujar Ketua Komisi A Herlina Harsono, Kamis (25/12).
Ia menilai, meski praktik pungli sudah tercium sejak lama, Pemkot belum optimal melakukan reformasi birokrasi. Kondisi ini terlihat dari banyaknya rekomendasi DPRD untuk Inspektorat Pemkot Surabaya yang tidak ditindaklanjuti.
Herliana mencontohkan, persoalan yang pernah direkomendasikan adalah menyangkut keberadaan tempat-tempat usaha tak berizin.
Tempat-tempat usaha itu, menurutnya, tidak mungkin hadir tanpa sepengetahuan camat atau lurah. Sehingga, menurut Herliana, perlu pemeriksaan keterlibatan camat dan lurah kasus-kasus tersebut.
“Harus tegas agar ada efek jera. Kalau tidak begitu ujung-ujungnya dianggap dipelihara dan jadi objek politisasi,” ujar anggota Fraksi Partai Demokrat tersebut.
Ombudsman RI Jawa Timur, Selasa (23/12) lalu memaparkan hasil investigasi mereka di kantor-kantor layanan publik di Surabaya yang mengungkap sejumlah indikasi pelanggaran. Dugaan pelanggaran di antaranya penyimpangan prosedur, permintaan imbalan, dan sikap tidak kompeten.
Berdasarkan hasil uji petik, dugaan pelanggaran terjadi di enam kecamatan (Genteng, Karangpilang, Lakarasantri, Gubeng dan Krembangan), serta lima kelurahan (Kalisaan, Kebraon, Bangkingan, Semolowaru, dan Barata Jaya).
Selain itu, investigasi juga dilakukan di kantor Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA), Dinas Koperasi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.