REPUBLIKA.CO.ID, SIDOARJO - Satu demi satu jasad korban jatuhnya Air Asia QZ 8501 berasil dievakuasi dari perairan Selat Karimata. Di Crisis Center Bandara Juanda, tempat keluarga dan kerabat korban berkumpul, para penunggu larut dalam suasana duka.
Begitu informasi tersebut disampaikan secara resmi, beberapa orang tak bisa lagi menahan emosi. Ada yang menangis menjerit-jerit, ada juga yang berjatuhan pingsan.
Di antara mereka yang bersedih, ada sepasang suami-istri asal Jember, Dwijanto dan Sri Budi. Pasangan kakek-nenek itu adalah ayah dan ibu penumpang Air Asia QZ 8501 bernama Bhima Aly Wicaksana (31).
Sri Budi, perempuan berkerudung 60-an tahun itu terduduk lesu di atas tikar. Wajahnya pucat, sementara tatapannya kosong dan memancarkan kepedihan yang dalam.
Meski tak bisa menyembunyikan duka, sang suami, Dwijanto terlihat lebih tegar. Ia bahkan menyambut ramah beberapa wartawan yang datang menyapanya.
Kepada para pewarta, Dwi mengaku ikhlas menerima apapun yang terjadi. "Saya sudah pasrah. Saya serahkan semua sama Tuhan," ujarnya sambil mengangkat tangan dan menunjuk ke atas.
Dengan lugas, Dwi juga masih bisa bercerita tentang anaknya, Bhima. Di matanya, sang anak adalah putra yang membanggakan. "Sejak lulus SMA, dia enggak pernah minta uang sama orangtuanya. Kuliah pun dia membiayai sendiri," ujarnya.
Tiga hari sebelum keberangkatan Bhima ke Singapura, Dwi bercerita, sepulang dari Jakarta, ia menengok Bhima yang bekerja di Surabaya. Dwi masih ingat betul percakapan terakhirnya dengan sang anak.
"Saya tanya. Nak, kamu sudah 31 (tahun), kapan mau berkeluarga? Dia bilang 'nanti, Pak, rumah saya belum jadi. Nanti kalau sudah beres, pasti saya mikir ke situ'," ujar Dwi menirukan perkataan anaknya.
Menurut Dwi, Bhima adalah sosok pekerja keras, bahkan sangat jarang libur bekerja. Kepergiannya ke Singapura, Ahad (28/12) lalu, menurut Dwi karena ia ingin rehat sejenak dari kesibukannya berwirausaha.
"Apapun yang terjadi, semoga ini yang terbaik," katanya dengan wajah sendu.