REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG-- Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni mengatakan Australia tidak berhak atas Pulau Pasir (ashmore reef), karena negeri Kanguru itu tidak mampu membuktikan satu dokumen resmi atas kepemilikan pulau tersebut sesuai ketentuan hukum internasional.
"Namun, fakta hukum justru menunjukkan bahwa pulau yang kaya mineral yang terletak di selatan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur itu sesungguhnya adalah milik nelayan tradisional Indonesia," kata mantan agen imigrasi Kedubes Australia itu di Kupang, Jumat.
Pulau Pasir yang hanya dicapai dalam tempo empat jam dari Pulau Rote dengan perahu motor itu merupakan tempat peristirahatan para nelayan tradisional Indonesia yang mengalami keletihan setelah mencari ikan dan biota laut lainnya di sekitar "ashmore reef".
"Gugusan Pulau Pasir itu lebih tepat merupakan halaman rumah para nelayan tradisional Indonesia yang didiami secara turun-temurun sejak 400 tahun silam, jauh sebelum Australia memproklamirkan kemerdekaannya sebagai sebuah negara berdaulat," katanya.
Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) itu menambahkan Australia memegang MoU (Memorandum of Understanding) tentang Hak-hak Nelayan Tradisional yang ditandatangani pada 1974 oleh seorang pejabat tingkat rendah Kementerian Luar Negeri Indonesia dan seorang pejabat tingkat rendah dari Departemen Pertanian Australia.
"Ini bukan sebuah perjanjian, sehingga penandatanganan MoU tersebut dinyatakan ilegal," kata Tanoni. Ia menambahkan dengan mengacu MoU 1974, Australia kemudian mengklaim "ashmore reef" sebagai bagian dari teritorinya dan menjadikannya sebagai cagar alam.
Australia, kata dia, menyadari bahwa MoU tersebut sangat lemah, sehingga pada 1997 membujuk Indonesia untuk membuat perjanjian lain yang disebut Zona Ekonomi Eksklusif dan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu di wilayah tersebut dan memasukkan gugusan Pulau Pasir di dalamnya.
Ia menegaskan meskipun gugusan Pulau Pasir itu sudah menjadi bagian dari kesepakatan tersebut, namun sejauh ini belum diratifikasi oleh kedua negara, apalagi perjanjian 1997 yang tidak bisa diratifikasi lagi sebagai konsekuensi dari perubahan kondisi geopolitik.
Tanoni menjelaskan ketika perjanjian 1997 dinegosiasikan dan ditandatangani, Timor Timur masih menjadi bagian dari NKRI, namun pada tahun 2000 telah terjadi perubahan geopolitik di wilayah tersebut dengan berdirinya Timor Timur sebagai sebuah negara merdeka dengan nama Timor Leste.
Namun, tambahnya, Australia justru menggunakan MoU 1974 yang ilegal itu untuk menghentikan dan membakar ribuan perahu milik nelayan tradisional Indonesia di Laut Timor hanya untuk mengambil minyak dan gas bumi milik rakyat Timor bagian barat NTT.
Tanoni juga merasa aneh dengan sikap Australia yang menolak untuk menggunakan MoU 1996 yang sah dan resmi tentang Kesiapsiagaan dan Penanggulangan Polusi Minyak di Laut guna menyelesaikan petaka Tumpahan Minyak Montara 2009 di Laut Timor yang terkesan ditutupi-tutupi itu.
Petaka Montara ini telah menghancurkan mata pencaharian lebih dari 100.000 rakyat miskin yang bermukim di pesisir di kepulauan Nusa Tenggara Timur.