REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Diplomat Indonesia perlu menerapkan praktik diplomasi yang tegas di kancah internasional sehingga kedaulatan Indonesia lebih diperhitungkan, kata pengamat kebijakan publik Universitas Gadjah Mada Gabriel Lele.
"Harus berani mengutarakan pandangan berbeda serta tidak cenderung mengalah dengan negara lain," katanya di Yogyakarta, Rabu (7/1).
Menurut dia, politik bebas aktif atau politik jalan tengah yang sudah lama dipakai Indonesia dalam mengambil kebijakan luar negeri sangat efektif, misalnya dalam menghadapi kondisi perang dingin. Namun, katanya, saat ini perlu memiliki keberanian untuk sedikit agresif dan berani berbeda dengan pandangan negara lain.
"Politik bebas aktif memang strategis, tapi untuk konteks saat ini sikap Indonesia jangan terlalu netral, tapi perlu memiliki prinsip yang tegas dalam setiap kebijakan luar negeri sehingga tidak cenderung dimanfaatkan negara lain," kata dia.
Ia mengemukakan prinsip diplomasi yang tegas tersebut juga perlu ditujukan dalam menyikapi berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di negara lain. Melalui prinsip tersebut, katanya, eksistensi Indonesia akan lebih diperhitungkan.
Dia mengemukakan memasuki pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015, pemerintah Indonesia melalui diplomat yang dimilikinya juga memerlukan prinsip negosiasi yang tegas sehingga dapat mengambil peran dominan dalam persaingan tersebut.
"Indonesia memiliki potensi sumber daya yang melimpah. Jangan sampai ketika memasuki MEA, justru potensi Indonesia akan dimanfaatkan oleh negara-negara ASEAN lainnya," kata dia.