REPUBLIKA.CO.ID, GENEVA – Jumlah pengungsi Suriah kini bertambah 704 ribu jiwa dalam paruh enam bulan terakhir pada 2014.
Para pengungsi Suriah merupakan kelompok terbesar yang diurus badan PBB untuk pengungsian (UNHCR). Demikian laporan PBB seperti dilansir The Daily Star, Rabu (7/1).
UNHCR juga mengumumkan prediksi jumlah keseluruhan pengungsi Suriah, yakni sebanyak 4.270.000 jiwa hingga akhir Desember mendatang. Saat ini jumlah total pengungsi tercatat mencapai lebih dari 3 juta jiwa. PBB memasukkan konflik Suriah sebagai yang terburuk dalam tujuh dekade terakhir.
“Krisis luar biasa yang terjadi di Suriah dan Irak telah menciptakan pengungsian paling malang di dunia semenjak Perang Dunia II,” kata Kepala UNHCR, Antonio Guterres, Selasa (6/1), seperti dilansir The Daily Star.
Antonio melanjutkan, kini Suriah menggantikan Afghanistan sebagai negara asal pengungsi terbanyak di dunia. Dalam kurun 30 tahun terakhir, Afghanistan menduduki peringkat atas sebagai tempat asal pengungsian dunia.
Namun, kata Antonio, hal itu di luar Palestina, yang menghasilkan lebih dari lima juta orang pengungsi. “Kini pengungsi Suriah merupakan 23 persen dari total pengungsi yang diurus UNHCR,” kata Antonio.
Konflik Suriah telah membunuh lebih dari 200 ribu orang sejak Maret 2011. Selain itu, hampir separuh dari total populasi Suriah menjadi pengungsi di negara-negara tetangga, seperti Lebanon, Turki, dan Yordania.
Ada pula yang mengungsi ke Eropa dalam kondisi menyedihkan. Sebelumnya, diketahui sebanyak 768 orang Suriah terkatung-katung di Laut Tengah dalam perjalanan kapal laut ke pantai Italia. Mereka diabaikan oleh pihak yang mendatangkan mereka ke sana.
Karenanya, UNHCR mendesak warga internasional untuk lebih memperhatikan situasi pelik ini. Terutama, bagi negara-negara yang menerima pengungsi Suriah. Kini, kebanyakan negara-negara tersebut tidak lagi mampu menampung lebih banyak pengungsi ke dalam negerinya masing-masing.
“Menerima pengungsi membutuhkan biaya sosial, kemanusiaan, dan ekonomi. Kini, kebanyakan pengungsi diterima oleh komunitas-komunitas yang juga kurang mampu mencukupi kebutuhan ekonominya sendiri,” kata Antonio.