REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran Nasaruddin Umar menegaskan bahwa ia tidak setuju dengan adanya visualisasi Nabi Muhammad. Akan tetapi, ia menilai penyerangan terhadap kantor tabloid Charlie Hebdo yang memuat kartun Nabi Muhammad berlebihan.
"Kalau sampai membunuh orang sekian banyak, itu suatu bentuk pembalasan yang melampaui batas," terang Nasaruddin, Kamis (8/1).
Nasaruddin menegaskan bahwa dirinya tidak setuju dan tidak menyukai visualisasi sosok Nabi Muhammad seperti yang dilakukan oleh tabloid Charlie Hebdo. Namun, ia juga tidak setuju dengan penyerangan brutal yang dilakukan terhadap kantor Charlie Hebdo. Menurutnya, kekerasan atas nama apapun dan dengan alasan apapun tidak akan menyelesaikan masalah.
Menurut Nasaruddin, kasus pelecehan agama seharusnya diselesaikan dengan cara yang beradab. Beradab di sini maksudnya ialah penyelesaian melalui jalur hukum. Penyelesaian melalui jalur hukum, lanjut Nasaruddin, jauh lebih beradab dibandingkan dengan membunuh orang.
"Cara mencintai Nabi tidak dalam bentuk membunuh massal orang seperti itu," lanjut Nasaruddin.
Mantan wakil menteri agama ini juga mengimbau agar warga Indonesia tidak terpancing dan kebakaran jenggot dengan adanya peristiwa ini. Pasalnya, belum tentu persoalan yang terjadi benar-benar terkait persoalan agama. Bisa saja insiden ini terjadi karena ada sentimen dari pihak tertentu yang memiliki berbagai motif di balik tindakan tersebut.
Menurut Nasaruddin, kekerasan yang mengatasnamakan Islam tidak membawa dampak positif terhadap citra Islam, melainkan sebaliknya. Karena itu, ia berharap agar para Muslim, termasuk Muslim di Indonesia, bisa kembali membersihkan Islam dari asumsi banyak orang yang kerap menghubungkan Islam dengan kekerasan.
"Justru kita harus membuktikan Islam itu sesungguhnya ajaran yang penuh kedamaian," jelas Nasaruddin.