REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Seorang pakar keamanan ternama di Australia menyatakan, tersangka kasus terorisme harus dipaksa menggunakan alat pelacak keberadaan. Alat dimaksud setidaknya digunakan dua tahun setelah mereka kembali ke Australia dari tempat-tempat yang menjadi pusat kegiatan teroris atau kelompok militan ekstrim.
Proposal ini diajukan setelah serangan teror di Paris dan Sydney yang memicu keprihatinan dan pertanyaan atas kemampuan badan keamanan untuk memantau setiap orang yang diduga memiliki keterkaitan dengan jaringan teror.
Professor Clive Williams dari Pusat Kebijakan, Intelejensi dan Kontra Terorisme di Universitas Macquarie University mengatakan, teknologi pelacak yang digunakan untuk memantau pelaku kejahatan seksual juga bisa membantu memantau kegiatan dari tersangka kejahatan terorisme. "Ada banyak alat pelacak khusus yang saat ini tersedia yang bahkan bisa digunakan untuk membatasi akses internet seseorang," katanya baru-baru ini.
"Dengan alat ini seorang petugas keamanan akan dapat memonitor setidaknya 20 orang yang masuk dalam daftar perhatiannya,"
Clive Williams mengatakan alat ini sangat mungkin digunakan untuk tersangka terorisme berdasarkan UU keamanan yang saat ini berlaku. "Di bawah sistem perintah pengawasan yang cukup baik digunakan selama periode 12 bulan kita bisa memerintahkan orang untuk menggunakan alat pelacak itu," tambahnya.
"Dan berdasarkan pasal perintah pengawasan kita juga bisa memerintahkan orang untuk hanya berada di satu lokasi tertentu saja atau hanya berhubungan dengan orang tertentu saja,"
"Jadi ada banyak aturan ketat dalam sistem perintah pengawasan ini yang menurut saya bisa lebih bermanfaat untuk menjaga pengawasan yang lebih baik kepada orang-orang yang perlu diawasi kegiatannya,"
Clive Williams juga mengatakan pengawasan yang ketat terhadap tersangka butuh menurunkan lebih dari 20 orang petugas ke lapangan dan dalam prakteknya saat ini kepolisian kekurangan personel untuk melakukannya.
Professor Williams mengatakan otoritas Australia harus mengikuti langkah pemimpin AS dan Inggris yang telah memperluas penggunaan alat pelacak ini untuk meningkatkan keamanan di negaranya.
Menteri Luar Negeri Julie Bishop menolak untuk mengomentari gagasan ini dalam interviewnya. "Saya akan menyerahkan pembahasan ini kepada para pakar," katanya.
Bishop mengatakan paspor dari 80 tersangka yang terlibat dalam peperangan di luar negeri sudah dibatalkan berdasarkan UU Keamanan yang saat ini berlaku.
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer:
Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement