REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pemerintah Inggris akan berupaya meluluskan undang-undang yang memaksa perusahaan tembakau yang menjual rokok dalam bungkus tanpa merek. UU itu akan diluluskan sebelum Mei, setelah isu tersebut menjadi perdebatan selama bertahun-tahun.
Langkah yang bertujuan meningkatkan kesehatan masyarakat dan mengurangi angka perokok di bawah umur itu, sepertinya akan menurunkan keuntungan perusahaan rokok. Inggris mengikuti langkah Australia yang dua tahun silam memberlakukan UU terobosan yang mengatur penjualan rokok dalam bungkus polos warna hijau zaitun dengan gambar-gambar efek merusak akibat rokok.
Penjualan rokok di Australia anjlok sejak aturan bungkus polos itu diperkenalkan pada 1 Desember 2012. Keberhasilan ini memicu Inggris untuk meneruskan rencananya, meski Australia terus menghadapi tuntutan hukum internasional dari pabrikan maupun negara lain.
Menteri Muda Kementerian Kesehatan Inggris Jane Ellison mengatakan, pemberlakuan bungkus polos merupakan respon proporsional yang bisa dibenarkan akibat risiko kesehatan terkait merokok. "Dengan melakukan ini kami akan membawa satu langkah lebih dekat pada generasi pertama bebas rokok," katanya dalam sebuah pernyataan.
Sebelumnya pemerintah mengatakan akan melarang pemberian merek, namun perlu melakukan konsultasi akhir untuk memastikan bahwa hal tersebut merupakan langkah yang benar. Sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa pemerintah akan kembali menunda penetapan UU itu.
Partai oposisi Partai Buruh menyambut baik langkah tersebut, namun mengkritik pemerintah bertindak terlalu lamban setelah pemungutan suara di parlemen hampir setahun lalu meluluskannya. Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara memerlukan persetujuan atas UU yang diberlakukan di Inggris.
Perusahaan tembakau menentang keras UU baru itu, dan berpendapat bahwa aturan bungkus polos melanggar hak kekayaan intelektual yang mencakup merek dagang dan bahwa aturan itu hanya akan meningkatkan pemalsuan dan penyelundupan rokok.
Penjualan rokok di Australia turun sekitar 3,4 persen pada 2013 dibandingkan 2012, menurut data Departemen Keuangan. Pemerintah sebelumnya merahasiakan data penjualan itu untuk melindungi informasi sensitif perdagangan, dan belum merilis data penjualan 2014.
Lima negara produsen tembakau --Indonesia, Kuba, Republik Dominika, Honduras dan Ukraina-- menantang UU Australia itu di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sidang kasus itu akan dimulai pada Mei dan keputusannya diperkirakan belum akan diambil sebelum 2016.
Philip Morris Asia Ltd membawa isu ini ke Mahkamah Permanen Arbitrase berdasar pakta investasi bilateral Australia dengan Hongkong.
Mahkamah pada 2014 menyatakan bahwa Australia bisa menentang hak Philip Morris untuk melawan UU itu dengan alasan perusahaan itu membeli saham anak perusahaan di Australia hanya untuk membawa kasus ini.