REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil penelitian yang dilakukan sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengungkapkan bahwa 25 kelompok perusahaan sawit yang dimiliki taipan mengendalikan 31 persen dari total luas area pertanaman sawit di Indonesia saat ini.
Selain itu, taipan-taipan yang bukan hanya warga Indonesia tetapi sebagian berasal Malaysia dan Skotlandia, juga sudah memegang izin pengembangan tanaman sawit seluas 2 juta hektare yang belum ditanami, kata peneliti dari Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Rahmawati Retno Winarni dalam sebuah lokakarya di Jakarta, Kamis (12/2).
"Apabila lahan seluas 2 juta hektare tersebut ditanami di waktu mendatang, maka porsi penguasaan kelompok taipan ini menjadi 43 persen (luas area pertanaman menjadi 12 juta hektare). Hal itu bisa menciptakan masalah sosial dan lingkungan yang rumit," katanya.
Taipan berasal dari bahasa Jepang yang berarti tuan besar. Hingga saat ini luas area pertanaman sawit di Indonesia sekitar 10 juta hektare.
Dari luasan itu, 3,1 juta hektare dikuasai oleh ke-25 kelompok taipan tersebut. Luas area yang belum ditanami 2,0 juta ha, sehingga keseluruhan area yang dikuasai sekitar 5,1 juta hektare. Selainnya dikuasai BUMN, taipan kecil dan pekebunan mandiri termasuk masyarakat.
Sebaran penguasaan area tersebut 62 persen di Kalimantan (terluas di Kalimantan Barat diikuti Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur), 32 persen di Sumatera (terluas di Riau diikuti Sumatera Selatan), 4 persen di Sulawesi dan 2 persen di Papua.
Ke-25 kelompok tersebut, antara lain, Wilmar Group (dimiliki Martua Sitorus dkk), Sinar Mas Group (Eka Tjipta Widjaja), Raja Garuda Mas Group (Sukanto Tanoto), Batu Kawan Group (Lee Oi Hian asal Malaysia), Salim Group (Anthoni Salim), Jardine Matheson Group (Henry Kaswick asal Skotlandia), Genting Group (Lim Kok Thay asal Malaysia) dan Bakrie Group (Aburizal Bakrie).
Sejumlah 21 dari 25 perusahaan induk kelompok itu sudah terdaftar di bursa efek (11 di Jakarta, 6 di Singapura, 3 di Kuala Lumpur dan 1 di London), sisanya empat kelompok merupakan perusahaan privat.
Penelitian TuK Indonesia ini juga mengungkapkan bahwa taipan-taipan sawit ini didukung oleh sejumlah lembaga keuangan nasional dan internasional, di antaranya Bank HSBC dari Inggris, Bank OCBC dari Singapura, Bank CIMB dari Malaysia dan Bank Mandiri dari Indonesia.
"Dukungan lembaga keuangan tersebut memberi sarana bagi ke-25 kelompok itu untuk mempercepat ekspansi bisnisnya terutama dalam penguasaan lahan," kata Rahmawati yang biasa disapa Wiwin.
Disebutkan, kekayaan keseluruhan taipan tersebut diperkirakan mencapai 71,5 miliar dolar AS (tahun 2013), setara dengan delapan persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun 2013 (868 miliar dolar AS) dan 42 persen APBN 2013 sebesar Rp 1.726 triliun.
Pembicara lain yang hadir dalam lokakarya tersebut Wiko Saputro dari Perkumpulan Prakarsa & Tax Justice Network Indonesia mengungkapkan tax ratio dari lapangan usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan pada tahun 2012 hanya 1,02 (bandingkan dengan tax ratio listrik, gas dan air bersih 20,0) dengan potensi pajak yang tak tertagih senilai Rp 44,64 triliun.
Hal itu, katanya, mengindikasikan adanya upaya-upaya pengemplangan pajak dan penghindaran pajak.
Untuk menghindari dampak negatif dari penguasaan lahan ini di masa depan, TuK Indonesia mengajukan usulan agar pemerintah Indonesia membuat kebijakan yang mendorong distribusi yang adil atas akses terhadap tanah serta mempromosikan pembangunan ekonomi yang lebih adil.