REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Pengamat hukum tata negara Universitas Jember Widodo Eka Tjahyana mengatakan Presiden Joko Widodo seharusnya menjalankan konstitusi dengan melantik Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri pascaputusan praperadilan.
"Batalnya pelantikan Budi Gunawan bisa dinilai menghina parlemen (contempt of parliament) karena DPR sudah menyetujui calon tunggal yang diusulkan Presiden Jokowi sebelumnya," kata Widodo di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Jumat (20/2).
Padahal, kata dia, DPR sudah melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap Budi Gunawan, kemudian melakukan rapat paripurna untuk kelayakan dan dilantik menjadi Kapolri.
"Mengusulkan kapolri memang hak prerogatif presiden, namun keputusan Jokowi mengusulkan calon kapolri baru berdasarkan opini publik dan bukan konstitusi, itu yang sangat disayangkan," katanya.
Kebijakan tersebut, lanjut dia, bisa dinilai menyalahi konstitusi dan untuk menentukan pejabat negara seharusnya tunduk pada konstitusi dan bukan berdasarkan pada opini masyarakat yang berkembang.
"Presiden dilantik dan disumpah untuk menegakkan seluruh perundang-undangan yang ada sehingga aturan hukum yang seharusnya dipakai dan tidak membatalkan pelantikan Budi Gunawan," ucap Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu.
Ia menjelaskan DPR harus menyelesaikan masalah pada keputusan presiden yang tidak melantik Budi Gunawan, bahkan sejumlah anggota DPR berancang-ancang keluarkan hak angket dan interpelasi untuk mempertanyakan hal tersebut.
Hal berbeda disampaikan pengamat politik Universitas Jember Joko Susilo MSi yang menilai keputusan Presiden Jokowi tersebut tepat untuk mengurangi perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri.
"Jokowi tentu memiliki pertimbangan yang matang untuk mengusulkan calon kapolri baru dan kewenangan mengusulkan kapolri menjadi hak prerogatif presiden, sehingga semua pihak harus menerimanya," ujarnya.