REPUBLIKA.CO.ID, BANJARMASIN -- Akademikus Pendidikan Luar Sekolah Universitas Palagka Raya, Kalimantan Tengah, Prof HM Norsanie Darlan mengusulkan agar pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri harus lebih selektif, tidak asal kirim.
"Karena tidakkah merasa terhina bila kita berkunjung ke luar negeri bertemu dengan sesama warga negara ternyata pekerjaannnya hanya sebagai pembantu rumah tangga. Kenapa harus cari kerja ke negeri orang?" ujarnya kepada Antara Kalimantan Selatan, Sabtu (21/2).
"Namun melihat bangsa lain yang pernah bertemu, bangga rasanya mereka itu para manajer di berbagai tempat. Sehingga kita merasa betapa bagusnya bangsa-bangsa lain dalam perencanaan mereka untuk mengirim tenaga kerja ke luar negeri," ungkapnya.
Sedangkan TKI yang dikirim, mereka yang tingkat pendidikan relatif rendah diikuti dengan minimnya keterampilan, lanjut mantan kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) pemerintah provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah (Kalteng) tersebut.
Kalau pemerintah mau meningkatkan harkat dan martabat bangsa, sarannya, tentu perencanaan harus berorientasi ke depan yang lebih baik. Misalnya, bila mengirim tenaga kerja harus sarjana terampil, dan menguasai bahasa dan budaya di daerah yang menjadi tujuan.
"Saya pernah di suatu negara mencari teman yang tersesat. Sesaat sebelumnya kondisi badannya kurang sehat. Maka pusat pencarian harus pada tempat pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit," mantan aktivis Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) tersebut.
"Dari sekian rumah sakit itu, seorang warga negara berkebangsaan Filipina menjelaskan ada warga negara Indonesia yang berobat kepadanya. Setelah ditelusuri apa yang ia jelasnya ternyata benar. Ternyata warga Filipina tersebut seorang dokter di rumah sakit itu," ungkapnya.
Sementara putra-putri Indonesia yang bekerja di rumah sakit yang sama hanya sebatas tukang parkir, dan pertugas kebersihan. Tidak ada yang perawat atau bidan, apalagi dokter. Betapa menyedihkan. Hal ini tentu merendahkan harkat dan martabat bangsa.