REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hasil Muktamar Surabaya mengisyaratkan tidak akan menerima hasil putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), terkait dualisme kepengurusan di tubuh partai itu.
Wakil Sekjen PPP hasil Muktamar Surabaya, Arsul Sani mengatakan jika putusan PTUN memenangkan kubu Suryadarma Ali dan Djan Faridz, hingga ke Mahkamah Agung (MA), maka pihaknya tetap tidak akan mengakui.
"Apapun skenarionya, maka PPP akan tetap di bawah kepemimpinan kubu Romahurmuziy," katanya kepada Republika, Ahad (22/2).
Sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Rabu (25/2) nanti akan memutuskan hasil perkara soal dualisme kepengurusan. Putusan PTUN tersebut masih menjadi putusan di tingkat pertama, karena kedua belah pihak masih terbuka untuk melakukan banding hingga kasasi di MA.
Arsul mengatakan, jika dalam putusan MA yang final dan mengikat menerima gugatan kubu Suryadarma Ali dan membatalkan Surat Keputusan (S.K) Menteri Hukum dan HAM, tidak serta akan terbit SK pengesahan kubu Djan Farid.
"Paling jauh, Menkumham akan menyatakan DPP PPP yang sah adalah DPP terdahulu hasil muktamar Bandung," ujarnya.
Anggota komisi III DPR RI ini menambahkan, Menkumham diprediksi akan mengembalikan kepengurusan Suryadarma Ali setelah proses peradilan SDA berlangsung. Dengan begitu, hasilnya akan sama saja karena SDA harus mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PPP sesuai AD/ART karena menjadi terdakwa.
Jika SDA diberhentikan dari Ketua umum, yang akan menggantikan adalah wakil ketua bersama sekretaris jenderal PPP. Terlebih, imbuh Arsul, secara AD/ART PPP, Djan Faridz yang menjadi ketua umum PPP hasil muktamar Jakarta, dinilai tidak memenuhi syarat untuk mendapat jabatan Ketua Umum.
"Beliau belum pernah menjadi pengurus harian DPP PPP selama satu periode penuh," tegasnya.