REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara warga negara Prancis yang divonis mati di Indonesia terkait kasus pabrik ekstasi Serge Atlaoui, Nancy Yuliana mengatakan kliennya tidak pantas dhukum mati karena tidak terlibat langsung dalam peredaran narkoba.
"Serge Atlaoui bekerja di pabrik ekstasi tersebut sebagai teknisi, bukan pengedar ataupun pemilik pabrik. Karena itu Atlaoui tidak pantas dihukum mati," ujar Nancy saat konferensi pers di Kedutaan Besar Prancis, Jakarta, Kamis (26/2).
Hal senada juga disampaikan oleh istri Serge Atlaoui, Sasbine Atlaoui, yang turut hadir dalam konferensi pers tersebut. Dia mengatakan bahwa suaminya telah lama menjadi tukang las dan sering dipanggil ke luar negeri terkait profesinya tersebut.
Untuk membatalkan hukuman mati, pihak pengacara telah mengajukan PK pada 10 Februari 2015 dan merupakan pengajuan PK pertama sejak Atlaoui divonis mati oleh Mahkamah agung pada tahun 2007.
Menurut dia, selama ini pihak pengacara mencoba mencari novum (bukti baru) untuk PK, namun hingga mendekat waktu eksekusi bukti tersebut tidak ditemukan.
"Kami harap pengadilan bisa menganalisa PK dengan seksama dalam koridor Konvensi Internasional Hak Asasi Manusia, yang juga ditandatangani oleh Indonesia," ujar Duta Besar Prancis untuk Indonesia Corinne Breuze.
Serge Atlaoui divonis mati pada tahun 2007 oleh Mahkamah Agung atas kasus narkoba. Saat itu dia dinyatakan terlibat dalam pengoperasian pabrik ekstasi terbesar di Asia yang berlokasi di Cikande, Kabupaten Serang, Banten.
Hukuman mati di tingkat kasasi tersebut lebih berat daripada vonis di Pengadilan Negeri Tangerang tahun 2006 dan Pengadilan Tinggi Banten tahun 2007, yang menyatakan Atloui harus menjalani hukuman penjara seumur hidup.
Namanya masuk dalam daftar narapidana yang akan dieksekusi mati oleh Kejaksaan Agung RI setelah grasinya ditolak oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 35/G tahun 2014.
Sebelumnya Kejaksaan Agung RI telah mengeksekusi mati enam terpidana narkoba pada 18 Januari 2015.