REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (Pamjaki) mempertanyakan kesiapan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, termasuk aspek kepesertaan dan pelayanan kesehatan.
Dewan Penasihat Pamjaki, Rosa Christiana Ginting mengatakan, dalam peta jalan (road map) BPJS Kesehatan, ditargetkan pada 2019 mendatang seluruh masyarakat Indonesia sudah masuk dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Pihaknya mengkritisi 2019 adalah target kepesertaan yang sangat optimistis. Padahal, kata dia, dibandingkan negara lain yang telah terlebih dahulu menerapkan JKN waktu ini yang ditetapkan BPJS Kesehatan sangat singkat.
"Namun, yang sangat mengejutkan bahwa pada tahun 2013 diterbitkan peraturan presiden no 111 pasa 6 ayat 2 yang bunyinya Kewajiban melakukan pendaftaran kepesertaan jaminan kesehatan selain peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi: Pemberi Kerja pada Badan Usaha Milik Negara, usaha besar, usaha menengah, dan usaha kecil paling lambat tanggal 1 Januari 2015. Apa yang menjadi dasar pertimbangan?" tanya dia saat Seminar Pemberlakuan dan Implementasi BPJS Kesehatan, di Jakarta, Kamis (26/2).
Yang juga menjadi pertanyaan lain buat Pamjaki adalah sudah siapkah BPJS Kesehatan menerima seluruh karyawan perusahaan. Ia mencontohkan ketidaksiapan BPJS Kesehatan dalam menerima pendaftaran dari satu perusahaan skala sedang di Jakarta.
Pada 20 Juni 2014 PT X mendaftarkan karyawannya ke BPJS Kesehatan. Kemudian tanggal 3 November 1014 keluar invoice dan list peserta untuk dibuatkan kartu selama lima bulan. Kemudian dalam daftar ada dua pegawai yang keluar dari perusahaan.
Ketika perusahaan minta ke BPJS untuk mengubah, BPJS menyatakan tidak bisa, harus menunggu sampai 2 Januari 2015 karena kapasitas tidak bisa menangani 30 perusahaan per hari. Dan perusahaan harus membayar berbulan-bulan untuk orang yang sebenarnya bukan karyawan. Sementara untuk karyawan baru selama bulan-bulan tertentu tidak mendapat jaminan.
"Inti permasalahannya adalah sistem pendaftaran peserta belum baik," ujarnya.
Yang juga menjadi pertanyaan pihaknya adalah sistem pelayanan kesehatan dalam JKN. Dalam hal ini rumah sakit (RS) yang menjadi provider JKN baru 1.592 RS dan 617 RS diantaranya milik swasta. Padahal, jumlah RS di Tanah Air saat ini sebanyak 2.363. Rinciannya 861 RS milik pemerintah, milik swasta non profit 733, milik swasta 703, dan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 66.
"Jumlah RS tersebut masih jauh dari cukup untuk melayani seluruh penduduk," katanya.
Kemudian karyawan perusahaan selama ini sebagian besar menggunakan rumah sakit milik swasta. Pihaknya memperkirakan jika seluruh karyawan masyk dalam program JKN, bisa diperkirakan betapa besar masalah dan gejolak yang akan terjadi.
Pamjaki menilai masalah akan menjadi lebih parah apabila peserta bertambah banyak. Apalagi, tambahan peserta ini berasal dari perusahaan dengan karyawan yang sebelumnya dilayani dengan sistem yang lebih mudah dan lebih nyaman.
"Penerapan JKN menuntut perubahan yang signifikan dari semua pemangku kepentingan. Perubahan suatu keharusan, namun perubahan itu harus dihadapi dengan bijaksana dengan skala prioritas dan bertahap," ujarnya.