REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketetapan pemerintah melalui Kementerian ESDM menaikkan harga premium sebesar Rp 200 per liter mulai 1 Maret 2015 pukul 00.00 WIB dinilai tak wajar. Bahkan, ketetapan yang disebut-sebut berguna untuk menstabilkan perekonomian nasional tersebut dianggap tak relevan karena harga minyak dunia tak naik signifikan.
"Bahkan, harga minyak dunia hari ini masih di angka 49 dollar per barel, masih di
bawah 50 dollar, jadi tak relevan kalau pemerintah menaikkan harga. Justru, seharusnya harga minyak bisa turun," kata Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara kepada Republika pada Sabtu (28/2).
Ketika sejumlah barang kebutuhan masyarakat tengah mengalami kenaikan, lanjut Marwan, semua orang berharap tidak ada kenaikan untuk BBM. Meskipun kenaikannya tampak sepele, hanya Rp 200, ia khawatir kenaikan harga yang akan berlaku esok hari akan menyulut kenaikan harga komoditas lainnya semakin parah.
Dipaparkannya, beberapa minggu lalu pemerintah mengatakan tidak akan mengambil untung dari menaikkan harga BBM. Sebab, dana dari penjualan BBM akan dipakai untuk membangun sarana dan juga membeli minyak untuk cadangan penyangga. Tapi, tetap harus jelas perhitungan keuntungannya. Namun, hingga hari ini kejelasan untuk publik melalui transparansi perhitungan sama sekali belum ada.
"Jadi masalahnya sekarang, kita jadi tanda tanya, ini apa maksudnya, justru yang lebih mendesak itu transparansi hitung-hitungannya," tuturnya. Ia pada dasarnya setuju dengan rencana pemerintah membangun cadangan penyangga karena yang memang belum ada. Tapi pemerintah harus membuka jelas soal perhitungan dan latar belakangnya.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Wirausaha Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten, Juan Tarigan mengaku tak bermasalah dengan ketetapan kenaikan harga premium Rp 200 yang akan dimulai esok hari.
"Kita sudah membuat sistem sehingga bisa siap ketika harga BBM naik atau turun," kata dia. Dengan adanya kenaikan, Hiswana akan melakukan penambahan modal serta membantu pemerintah mensosialisasikan kenaikan harga.
Kenaikan ataupun penurunan, kata dia, tidak akan terlalu banyak berdampak bagi pengusaha. Sebab, itu semua telah melewati perhitungan pemerintah sementara pengusaha hanya bertugas mendistribusikan. Yang kerap menjadi masalah, lanjut dia, justru ketika harga mengalami penurunan.
Meski begitu, kenaikan tidak berdampak signifikan karena hanya naik Rp 200.
Namun, pengusaha akan menaikkan jumlah permodalan mereka. "Tapi untuk hitungan keuntunhan pastinya, ataupun modalnya, perlu kita hitung lagi," katanya.