REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Siti Zuhro menilai, eksekutif menjadi kunci untuk menyelesaikan kisruh yang terus terjadi di Indonesia pasca pemilu 2014.
Siti menjelaskan, Indonesia adalah negara yang menganut sistem presidensial dimana jabatan tertinggi berada pada eksekutif. Oleh karena itu, dibutuhkan kepiawaian seorang presiden yang dapat mengelola kekuatan politik agar tidak saling berbenturan dan memunculkan konflik.
"Eksekutif yang menjadi kunci. Presiden harus bertanggungjawab terhadap stabilitas negara," ujarnya pada Republika, Ahad (8/3).
Menurut Siti, konflik pasca pemilu sudah tak relevan lagi. Setelah kontestasi pemilihan presiden dan wakil rakyat, pemerintah harusnya fokus bekerja.
Namun, sambung dia, yang terjadi saat ini justru kinerja pemerintah terganggu karena adanya interupsi kepentingan-kepentingan. Belum lagi ditambah dengan pemberitaan media yang sedikit banyak dapat memecah konsentrasi bekerja. Akibatnya, rakyat yang dirugikan karena program-program pembangunan menjadi terhambat.
"Kan tidak mungkin eksekutif berjalan sendiri. Dana-dana harus dianggarkan oleh DPR. Ini berarti bagaimana eksekutif dapat mengelola kekuatan politik agar tidak saling berbenturan," kata pengamat dari LIPI tersebut.
Siti menilai, konflik yang terus terjadi pasca pemilu ini merupakan cerminan dari ketidakmatangan politik bangsa Indonesia. Menurut dia, hal ini terjadi karena tidak adanya budaya kontestasi di partai-partai politik di Indonesia. Sehingga, kader parpol tak terbiasa menerima kekalahan.
Untuk memperbaiki kondisi ini, Siti menilai penting bagi partai untuk memunculkan budaya kaderisasi. Sehingga, kader-kader parpol tidak gagap saat menghadapi kontes politik.