REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mimpi Indonesia menjadi poros maritim dunia bisa terwujud pada 2025 mendatang. Sejumlah strategi harus dijalankan Pemerintahan Jokowi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan sejak era presiden Sukarno itu.
Mantan menteri kelautan dan perikanan Rokhmin Dahuri mengatakan kebijakan dan strategi pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang tepat akan membawa Indonesia menjadi poros maritim dunia pada 2025. Dengan begitu Indonesia akan menjadi pemain utama di laut yang diperhitungkan bangsa-bangsa lain di dunia yang juga memiliki nilai ekonomis tinggi.
"Sektor kelautan dan perikanan akan menghasilkan daya saing kuat dan pertumbuhan ekonomi tinggi serta inklusif secara berkelanjutan," kata pakar Rokhmin, akhir pekan lalu.
Ketersediaan armada kapal menjadi salah satu kunci kebijakan sektor ini. Menurut Rokhmin, harus ada pengembangan 5.000 armada kapal modern berkapasitas di atas 30 gross tonage milik nelayan, badan usaha milik negara (BUMN), dan swasta Indonesia.
Kapal-kapal ini dioperasikan di Laut China Selatan dan Natuna, Laut Sulawesi, Laut Banda dan Maluku, Laut Arafura, perairan barat Sumatra dan selatan Jawa, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Pakar kelautan ini menegaskan wilayah-wilayah tersebut selama ini menjadi operasi nelayan asing yang mencuri ikan-ikan Indonesia.
Ini yang disebut Rokhmin sebagai ''illegal, unregulated, dan unreported fishing'' oleh nelayan asing. Ada juga praktik-praktik ''overfishing'' dan "underfishing" stok sumber daya ikan.
Pemberdayaan nelayan tradisional, kata Rokhmin, harus menjadi prioritas pemerintah. Hal ini terkait dengan peningkatan kapasitas dan produktivitas nelayan dalam memanfaatkan sumber daya ikan dan laut di masing-masing wilayah mereka.
Taraf hidup nelayan pun akan meningkat dengan program pemberdayaan ini. Rokhmin menyebut masalah kemiskinan masih menjadi pekerjaan rumah besar bersama. Sekitar 40 persen nelayan hidup di bawah garis kemiskinan yang berarti penghasilan mereka per bulan di bawah 1 dolar AS (Rp 13 ribu).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pengeluaran nelayan yang hidup di bawah garis kemiskinan hanya Rp 300 ribu per bulan pada 2014. Untuk menjadi poros maritim dunia, kata Rokhmin, kesejahteraan nelayan harus diperbaiki melalui produktivitas dan peningkatan kapasitas.
Dari sisi energi, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) ini mengungkapkan pengembangan energi alternatif untuk operasional kapal nelayan harus digalakkan. Cakupan ini termasuk untuk aktivitas pengadaan prasarana dan sarana angkutan dari sentra produksi ikan ke lokasi penjualan, baik pasar domestik maupun ekspor.
Presiden Jokowi mencanangkan sektor kelautan dan perikanan masuk ke dalam program utama ekonomi pemerintahannya. Setiap tahun ada 40 persen kapal-kapal niaga global memasuki perairan Indonesia namun berlabuh di Singapura. Pemerintah pun ditengarai mengalami potensi kerugian hingga Rp 365 triliun akibat praktik-praktik penangkapan ikan ilegal oleh asing.
Pembangunan pelabuhan yang modern dan besar harus menjadi prioritas pemerintah. Apalagi, kata Rokhmin, Indonesia memiliki laut yang luas dan bernilai strategis untuk dijadikan kekuatan ekonomi baru.