Kamis 19 Mar 2015 18:43 WIB

Bareskrim Polri Punya Tujuh Alat Bukti Kasus Payment Gateway

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Bayu Hermawan
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana (tengah) bersama tim penasehat hukumnya menjawab pertanyaan wartawan sebelum memasuki gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (12/3).
Foto: Antara/Reno Esnir
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana (tengah) bersama tim penasehat hukumnya menjawab pertanyaan wartawan sebelum memasuki gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (12/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyidik Bareskrim Polri telah mengumpulkan tujuh alat bukti dalam kasus dugaan korupsi proyek Payment Gateway, yang menyeret nama mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Denny Indrayana.

"Alat buktinya berupa surat-surat tapi tidak perlu disebutkan," ujar Kadiv Humas Mabes Polri Brigjen Anton Charliyan, Kamis (19/3).

Anton menjelaskan untuk barang bukti berupa uang masih belum didapatkan. Sampai saat ini masih dari keterangan audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) bahwa ada indikasi kerugian negara sebesar Rp32 miliar dan adanya pungutan tidak sah Rp605 juta.

Ia melanjutkan, untuk pasal yang akan dikenakan dalam kasus ini yaitu Undang-Undang Tipikor pasal tiga tentang penyalahgunaan wewenang jucto 55. Namun, Anton belum bisa memastikan apakah ada keterlibatan Amir Syamsudin selaku Menteri pada saat Denny menjabat Wamenkumham. Menurutnya, semua tergantung hasil dari pendalaman.

"Karena saat itu yang jadi Pimpro beliau dan pada saat itu sudah diingatkan kalau proyek dilaksanakan akan bermasalah," katanya.

Para staff di Kemenkumham, lanjut Anton, yang memperingatkan agar proyek Paymen Gateway tidak dilaksanakan. Ia mengatakan di Kemenkumham sudah ada sistem yang bagus namun, Denny tetap akan melaksanakan proyek tersebut.

Mengenai indikasi adanya keterlibatan pihak swasta, Anton mengaku masih akan melihat lebih dalam siapa saja yang berperan. Hal tersebut akan terungkap pada hasil penyelidikan. Ia menjelaskan, modus dalam kasus ini yaitu dengan pembukaan rekening. Dalam rekening tersebut, hanya ada rekening penerimaan dan pengeluaran.

"Di sini ada satu rekening yang dibuka dari keuangan negara yang mengendap disalah satu pihak swasta. Pembukaan rekening itu harus seizin menteri tapi disini tidak seizin menteri," jelasnya.

Saat ditanya mengenai kemungkinan keterlibatan dana yang mengendap tersebut masuk ke rekening Vendor, Anton mengaku masih akan mendalami. Namun, dalam waktu dekat pihak dari Vendor akan diperiksa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement