REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Advokat senior Trimoelja Soerjadi mengaku menyesal telah memilih Joko Widodo sebagai presiden pada pilpres lalu. Advokat yang dikenal progresif itu menyalahkan Jokowi atas kisruh yang terjadi di antara KPK dan Polri.
Trimoelja berpendapat, Komjen Pol Budi Gunawan atau BG, sebelumnya telah mendapat tanda ‘merah’ oleh KPK, sewaktu namanya diserahkan sebagai salah satu calon menteri.
“Lah, kok diusulkan ke DPR, calon tunggal lagi,” ujar Trimoelja, dijumpai selepas mengisi seminar menyoal pemberantasan korupsi di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Kamis (19/3).
Dengan ketidaktegasan Presiden, menurut Trimoleja, Polri menjadi leluasa melakukan kriminalisasi terhadap pimpinan dan personel-personel KPK. “Dalam tempo 10 hari setelah BG ditetapkan sebagai tersangka, semua komisioner KPK jadi terlapor. Belum lagi mereka yang membela KPK, Deni Indrayana, bahkan Majalah Tempo,” ujar Trimoelja.
Dalih Polri hanya menindaklanjuti laporan masyarakat, menurut Trimoelja mengada-ada. Pasalnya, untuk kasus-kasus lain yang tidak mewakili kepentingan Polri, penanganan kasus bisa bertele-tele, bahkan tak jarang terhenti di tengah jalan.
Pengacara nasional asal Surabaya itu menegaskan, KPK merupakan amanat reformasi yang harus dijaga. Menurut dia, selama ini, KPK telah menunjukan profesionalitas dan integritasnya di dalam bekerja. “KPK kita lihat tidak pandang bulu, anggota partai manapun dia tangkap, PDI-P, PKS, dan lain-lain. Bahkan kader-kader Demokrat, ketika SBY menjadi presiden,” ujar dia.
Meski begitu, Trimoelja menyesalkan sikap KPK yang melimpahkan kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan. Hal tersebut, kata dia, adalah bentuk pengakuan kalau KPK telah kalah. Ia berharap, KPK mengambil alih kembali kasus tersebut dan mengajukan Peninjauan Kembali atau PK atas keputusan sidang Praperadilan Budi Gunawan.