REPUBLIKA.CO.ID, QUEENSLAND -- Sejumlah imigran, termasuk asal Indonesia akan menceritakan kepada warga Australia apa rasanya menjadi seorang pendatang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Kesan-kesan dalam cerita itu berkaitan peringatan Harmony Day pada tanggal 21 Maret yang setiap tahun digelar di Australia.
Harmony Day adalah perayaan atas keberagaman budaya yang berada di Australia. Sementara Harmony Week digelar selama sepekan dari tanggal 16 hingga 22 Maret.
Warga Australia biasanya merayakan dengan dialog, acara makan-makan, festival, panggung hiburan, yang semuanya berhubungan dengan budaya dan kultur.
Salah satunya adalah perpusatakaan yang ada kawasan di Nambour, sekitar 100 km dari Ibu Kota Queensland Brisbane.
Perpustakaan ini menggelar acara Multicultural Living Library. Sesuai dengan namanya, kegiatan ini tidak menampilkan koleksi buku-buku, melainkan langsung dari orang yang bercerita.
Sejumlah imigran, dari Indonesia, Finlandia, Cina, dan Pakistan akan menceritakan pengalaman mereka bersama warga mengenai makna dari keberagaman budaya.
"Mereka memiliki cerita-cerita yang hebat," ujar Lynette Conder, juru bicara dari Jaringan Multikultural di Sunshine Coast, Queensland baru-baru ini.
Endah yang tiba di Australia sekitar 25 tahun mengaku sempat merasa kaget dengan budaya Australia yang berbeda saat pertama kali menginjakkan kaki di benua kanguru. Ia pun beberapa kali merasa kangen rumah.
"Jika dibandingkan dengan kota yang tinggal dulu, Australia ini jauh lebih sepi. Jarang sekali ketemu dengan orang dan hanya kosong," ujar Endah.
Endah mengaku membutuhkan hampir setahun untuk bisa beradaptasi. Tapi giliran ia menjenguk keluarga di kampung halamannya, ia kembali merasa mengalami kaget.
"Karena berbeda sekali dengan kota-kota di Australia, sangat ramai dan macetnya parah," kata Endah kepada ABC.
Endah sendiri mengaku menyambut baik acara-acara sejenis Multicultural Living Library, karena ia menjadi tidak sendirian.
"Saya ketemu orang dari Jepang, Afrika, India, dan Filipina, mereka masing-masing punya masalah saat pertama kali datang ke Australia," tambahnya.
Elli Hentunen asal Finlandia punya cerita sendiri. Ia pertama kali datang ke Australia di tahun 1968.
Bagi Elli perbedaan yang besar antara Finlandia dan Australia adalah cuacanya. Kalau di negaranya, cuaca bisa menjadi perbincangan sehari-hari.
Tapi kehidupan di Australia lebih santai, orang-orangnya pun menurut Elli lebih ramah, mungkin karena cuacanya yang lebih baik dibandingkan di negaranya.
"Ada fakta yang tidak terlalu banyak diketahui, bahwa 200 imigran asal Finlandia datang ke kawasan Nambour di tahun 1900-an dan generasi penerusnya masih tinggal disini," jelas Elli.