Rabu 25 Mar 2015 14:37 WIB

Revisi UU Perbankan Dinilai untuk Lindungi Konsumen

Rupiah Semakin Melemah: Teller melakukan transaksi dengan nasabah di Banking Hall Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (11/3).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Rupiah Semakin Melemah: Teller melakukan transaksi dengan nasabah di Banking Hall Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (11/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aturan tentang perbankan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dinilai sudah tidak pas lagi dengan perkembangan terkini. Alasannya karena sudah saatnya undang-undang hasil revisi atas UU Nomor 7 tahun 1992 itu diperbarui lagi.

Wacana tentang amandeman atas UU Nomor 10 Tahun 1998 itu mengemuka dalam diskusi bertema ‘Revisi UU Perbankan’ di pressroom DPR RI, Selasa (24/3). Hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu antara lain mantan menteri keuangan, Fuad Bawazier, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah, serta anggota Komisi XI DPR M Misbakhun.

Misbakhun menuturkan, revisi UU Nomor 10 Tahun 1998 itu sudah masuk dalam inisiasi Komisi IX DPR yang membidangi keuangan dan perbankan. “Hampir 17 tahun UU ini belum diubah,” katanya.

Politikus Partai Golkar ini lantas membeber alasan tentang pentingnya UU Perbankan direvisi. Salah satunya untuk melindungi kepentingan nasabah.

“Kita mengarahkan industri perbankan efisien, bahwa bunga bank tak tinggi. Revisi ini akan menciptakan payung kuat, sehingga konsumen dilindungi,” ucap dia.

Misbakhun membeberkan, isu yang tak kalah penting dalam perbankan adalah konglomerasi di bidang keuangan. Menurutnya, harus ada aturan ketat karena ada pemain yang sebenarnya bergerak di bidang infrastruktur, ritel dan bahkan pertambangan. Namun masuk ke perbankan melalui industri keuangan non-bank.

Karenanya tak heran kini jumlah bank di Indonesia sudah terlalu banyak, sehingga perlu perampingan. Caranya menurut Misbakhun adalah melalui regulasi.

“Ibaratnya jumlah jamur di Indonesia sama dengan jumlah banknya. Kita sulit hapal jumlahnya. Ini jadi topik kita,” lanjutnya.

Untuk perampingan perbankan, mantan pegawai Direktorat Jendeal Pajak itu lantas membuat klasifikasi. Ia mengharapkan jumlah bank umum cukup 15 saja dengan syarat modal minimal Rp 5 triliun.

Sedangkan bank devisa harus memiliki modal minimal Rp 10 triliun. “Jadi nanti banyak merger dan akuisisi, sehingga perbankan kita jadi ramping,” cetusnya.

Lantas bagaimana dengan bank asing? Misbakhun mengatakan persoalan itu memang memunculkan persoalan. Sebab, bank-bank dalam negeri mengalami kekurangan modal.

Bahkan untuk biaya infrastrutur perbankan saja ada yang mengandalkan APBN. Sebab, investasi di perbankan memang untuk jangka panjang, sementara simpanan nasabah untuk jangka pendek.

Namun Misbakhun tetap mendorong nasionalisme di sektor perbankan. “Saya bukan alergi asing, tapi itu tetap harus dipikirkan,” katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement