REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta pemerintha menjelaskan alasan di bali pemblokiran sejumlah situs Islam. Sebab, selama ini Indonesia dinilai masih keliru dalam pemahaman istilah radikal.
Dalam pemblokiran yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Ahad (29/3) kemarin, tidak dijelaskan apa saja materi radikal yang termuat dalam situs-situs tersebut. Ketua MUI, KH Slamet Effendy Yusuf mengatakan, jika pemerintah ingin memberangus situs-situs Islam yang diduga berisi konten radikal, sebaik terlebih dahulu mengajak MUI, tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk berdiskusi.
Sebab, apabila melakukan pemblokiran secara sepihak, Slamet khawatir pemerintah akan melanggar hak asasi umat beragama dalam berekspresi dan berpendapat. "Sebaiknya pemerintah, apakah itu Kemenkominfo atau BNPT terlebih dahulu diskusikan satu meja dengan MUI, dengan NU, dan juga Muhammadiyah. Apakah betul berisi radikal atau tidak," kata Slamet di Kantor Pusat MUI di Jalan Proklamasi Menteng Jakarta Pusat, Selasa (31/3).
Tetapi, jika memang ditemukan konten radikal, seperti halnya ajakan untuk mendukung gerakan militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), MUI sepakat bila pemerintah langsung memblokir website yang bersangkutan. Namun, bila website Islam yang hanya berisi konten-konten yang menentang kebijakan pemerintah, menurut Slamet tidak tepat untuk langsung diblokir.
Soalnya, karena persoalan tersebut masih bisa diperdebatkan dan di lihat sisi baik dan buruknya. "Jika berkaitan dengan ISIS yang ngajak anak bangsa ini libatkan diri. Itu sah untuk diblokir. Kalau hanya tentang ajaran yang bisa diperdebatkan radikal atau tidak, jangan dulu. Harus ada kecermatan. Kita harap Kemenkominfo dan BNPT cermat," ujar Slamet.