REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan telah berkoordinasi lama dengan instansi lain terkait penutupan beberapa situs. Disebutkan, sejak 2012, BNPT,
Kemenkominfo, Kementerian Agama, serta Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhumkam), sudah melakukan rangkaian investigasi masalah itu.
"Ada alasan kami meminta kepada Kemenkominfo untuk memblokir 19 situs yang kami nilai radikal tersebut. Sejak 2012, kami sudah melakukan kajian mendalam soal situs-situs tersebut dan yang pasti alasannya adalah situs-situs bernuansa radikal yaitu ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama,” ujar Humas BNPT Irfan Idris usai Rapat Koordinasi (Rakor) di Kantor Kemenkominfo dalam keterangannya, Selasa (31/3).
Direktur Deradikalisasi BNPT tersebut menjelaskan, yang dimaksud membawa ajaran radikal lainnya yaitu menyangkut takfiri atau mengkafirkan orang lain. "Seperti di salah berita di situs tersebut yang pernah saya baca ada kalimat ekor, Jokowi kafir dan demokrasi haram. Itu sudah radikal dan berbahaya,” kata Irfan.
Menurut Irfan, media situs tersebut juga banyak yang mendukung, menyebarkan dan mengajak untuk bergabung ke ISIS. Kalimat-kalimat propaganda juga banyak ditemukan. "Mereka juga menulis tentang memaknai jihad namun secara terbatas. Ada bukti fisik yang tim internal miliki,” ujar Irfan.
Namun, kata Irfan, BNPT juga akan menelaah lebih lanjut pascapertemuan hari ini dengan perwakilan dari tujuh media yang situsnya telah diblokir. “Tentu ada prosedur persuasif dan akan kami bahas lebih lanjut di internal kami (BNPT)," ujar dia.
Dalam kesempatan yang sama, Staf ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa Kominfo, Henri Subiakto menjelaskan, pemblokiran situs atas dasar peraturan mengenai pers.
"Kalau berbicara Undang-Undang Pers, maka teman-teman di Dewan Pers ini tidak menganggap situs-situs tersebut adalah media massa. Karena kalau yang disebut dengan media massa, itu selalu berbadan hukum Indonesia. Kalau kita lihat belum tentu situs-situs tersebut berbadan hukum Indonesia,” ujar Henri.
Karena, menurut Hendri, kalau situs tersebut berbentuk media massa, tentu memiliki struktur organisasinya yang jelas. Antara lain, ada nama penanggung jawab, alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Namun situs-situs itu disebut tidak memenuhi syarat di atas.