REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA - Pengamat Politik dari Universitas Jayabaya Igor Dirgantara berpendapat hak angket yang akan dilakukan oleh DPR-RI terhadap keputusan politis Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasona Laoly terbuka lebar. Khususnya terhadap pengesahan kepengurusan Partai Golkar versi Agung Laksono.
"Hak angket semakin terbuka lebar untuk dijalankan di sidang paripurna DPR guna melakukan penyelidikan dibalik kebijakan Menkumham yang cenderung dianggap tidak netral dalam membuat keputusan terkait kisruh kepengurusan di internal Partai Golkar," kata Igor, di Jakarta, Kamis (2/4)
Majelis hakim PTUN, pada Rabu (1/4) memutuskan menunda pelaksanaan surat keputusan Menteri Hukum dan HAM terkait pengesahan kepengurusan Partai Golkar di bawah pimpinan Agung Laksono.
Putusan majelis hakim PTUN tersebut menguatkan permohonan putusan provisi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Igor menjelaskan, melalui putusan sela PTUN Jakarta yang menunda pelaksanaan SK Menkumham tanggal 23 Maret 2015 itu menegaskan bahwa legitimasi kepemimpinan Golkar kembali kepada status quo hasil Munas ke-8 Partai Golkar di Riau."Konsekuensinya, sebelum inkrahnya putusan pengadilan, maka pergantian pimpinan Fraksi Partai Golkar di DPR belum diperbolehkan, dan ARB adalah Ketum Golkar yang punya wewenang memproses rekruitmen kader Golkar untuk berpartisipasi dalam Pilkada serentak akhir tahun ini di KPU dan KPUD," jelas Igor.
Igor yang juga merupakan Direktur Survey & Polling Indonesia (SPIN) ini menjelaskan, pengurus Golkar hasil Munas Riau punya hak membatalkan segala keputusan dan tindakan politik dan administratif dari kubu Agung Laksono. Terutama sejak dikeluarkannya SK pengesahan Menkumham tanggal 23 Maret sampai dengan adanya putusan penundaan PTUN, 1 april 2015.
"Putusan PTUN tersebut mengindikasikan proses adu pembuktian selanjutnya di pengadilan soal keabsahan peserta kader Golkar dari DPD I dan DPD II yang mengikuti Munas Bali dan Munas Ancol yang berujung pada konflik yang terjadi terkait dualisme kepemimpinan di Golkar saat ini," katanya.
Oleh karena itu, tambah dia, pengadilan yang fair dalam kasus Golkar ini merupakan 'test case' penting di bawah pemerintahan Jokowi. Apakah kekuasaan yudikatif bisa menjalankan fungsinya dalam memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum untuk terus berjalan diatas kepentingan politik dan kekuasaan.