Jumat 03 Apr 2015 06:26 WIB

Ini Surat Ustaz Salim A Fillah yang Sudah Dibaca Wapres JK (1)

Wapres Jusuf Kalla.
Foto: Antara
Wapres Jusuf Kalla.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ustaz Salim A. Fillah membuat 'surat terbuka' untuk Wapres Jusuf Kalla dengan judul La Ma’daremmeng, Karaeng Pattingalloang, dan Tuanta Salamaka yang diunggah di blog pribadinya pada 31 Maret lalu. Meski beralamat di Salimafillah.com, ia merasa perlu mengucapkan alhamdulillah, walau pakai dot com, blog salim tidak kena blokir :D.

Dalam siaran pers yang diterima Republika, kata Salim, menurut tim Pak JK, surat buatannya yang berisi nasuhat tentang kepemimpinan ini sudah dibaca oleh Pak JK.

"Jazakumullah tulisannya bagus Ustd, amanat sudah disampaikan. Beliau berkenan membacanya. Salam hangat dr Beliau dan mohon doa semoga Allah segera turunkan pertolongan-Nya, Aamiin.. #Admin" pesan dari akun @Pak_JK.

Berikut 'Surat Terbuka' Salim A. Fillah kepada Pak JK..

***

La Ma’daremmeng, Karaeng Pattingalloang, dan Tuanta Salamaka

Pak JK yang kami hormati, mengenang perang itu barangkali pahit..

Tetapi rasa ta’zhim pada nilai-nilai yang diperjuangkan Raja Bone XIII La Ma’daremmeng Sultan Muhammad Saleh, sebagaimana hormat kami kepada tokoh dari jazirah Sulawesi sebesar Bapak, tak pernah pudar. La Ma’daremmeng, semoga Allah menyayanginya, kala itu rela harus berhadapan dengan kekuatan sebesar Gowa-Tallo demi keyakinannya untuk menegakkan kalimat Allah dan sunnah RasulNya.

Sejak Islam datang ke Bone di masa ayahandanya, betapa bersemangat orang besar Bugis ini agar agama yang penuh rahmat menjadi nafas dan aliran darah seluruh kerajaannya. Perbudakan, satu di antara hal yang sangat lazim di zaman itu dan turut menjadi penopang kelangsungan kuasa para raja, telah mengusik nurani La Ma’daremmeng. Kesetaraan seluruh insan dalam naungan Islam adalah impian yang harus dia bayar amat mahal.

Orang yang harus memimpin 40.000 prajurit gabungan Gowa-Tallo, Wajo, Soppeng, dan Sidenreng untuk  mengalahkan La Ma’daremmeng, sang perdana menteri Gowa sekaligus Raja Tallo, I Mangngadaccinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud Tuminanga Ri Bontobiraeng, bukannya tak setuju sepenuhnya pada perubahan yang dihela La Ma’daremmeng. Karaeng Pattingalloang hanya merasa hal ini belum waktunya. Ada tahapan yang harus ditapaki sebelumnya agar harmoni masyarakat tak terganggu. Dia mempertanyakan, “Bukankah Sang Nabi juga tak serta-merta menghapus perbudakan? Melainkan selangkah demi selangkah, dengan amat manusiawi?”

Pak JK yang terhormat..

Diilhami oleh imannya, betapa maju pemikiran La Ma’daremmeng. Perjuangannya 220 tahun mendahului abolisi perbudakan yang diproklamasikan Abraham Lincoln hingga memicu perang saudara Amerika. Demikian pula kami pernah melihat Bapak, ketika mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, membawa cara-cara kerja progresif lagi segar mengelola negeri ini, sesuatu yang senantiasa jadi kenangan manis bagi kami. Sebagaimana La Ma’daremmeng digerakkan oleh imannya, demikianlah kami selalu mendoakan Bapak agar istiqamah menjadi pemimpin yang selalu dijiwai oleh Islam di tiap langkahnya.

Dan Karaeng Pattingalloang sendiri, betapa amat tergerak oleh sebuah kalimat bijak, “Hikmah adalah milik mukmin yang hilang. Maka di manapun dia menemukannya, dialah yang paling berhak mengambilnya.” Karaeng Pattingalloang tahu, gemerlap peradaban Islam di Baghdad telah terbenam 400 tahun sebelum dia bertakhta, dan kilau Cordoba telah padam 2 abad sebelum kelahirannya. Maka dari bangsa-bangsa yang telah menyabet kerlip peradaban Islam untuk pencerahan mereka, bangsa Eropa, amat bersemangat dia belajar.

Menguasai bahasa Arab, Inggris, Perancis, Spanyol, Portugal, Belanda, Jawa, dan Melayu selain bahasa Bugis dan Makassar; khazanah ilmu dunia terbuka bagi Karaeng Pattingalloang. Demi mengenal dunia, dengan penuh minat didatangkannya bola dunia terbesar di zamannya, bergaris-tengah 1,3 meter, buatan kartografer termasyhur, Joan Blaeu; tiba 7 tahun kemudian di Sombaopu setelah dipesan. Semangat Karaeng Pattingalloang akan ilmu menggemparkan para cendikia Eropa, hingga sastrawan besar Joost van den Vondel menghadiahkan puisi pujian untuknya. Kelak ketika Joan Blaeu merampungkan Atlas Novus, peta dunia terbesar yang dikodifikasinya dari peta-peta susunan sang legendaris Gerrard Mercator, digambarnya Karaeng Pattingalloang beristiwa di ufuk langit timur, menjangka dunia dengan busur kartografinya.

Setahun kemudian, tiba pula teleskop rancangan Galileo yang kelak menemani malam-malam Karaeng Pattingalloang untuk mencermati langit, mempresisikan perhitungan kalender hijriah, memetakan bintang-bintang, dan membantunya merumuskan kebijakan terkait musim bagi pertanian dan pelayaran. Perpustakaannya dipenuhi buku berbagai bahasa, yang dengan penuh semangat dia minta untuk diterjemahkan, termasuk risalah Turki ‘Utsmani tentang pembuatan meriam, naskah dari Belanda tentang bendungan, serta buku dari Inggris tentang pertahanan kota dan perbentengan. Demi memuaskan dahaga ilmiahnya pula, dia minta didatangkan ke Makassar unta Arabia yang tersebut dalam Al Quran, juga gajah seperti yang dipakai Abrahah menyerang Ka’bah.

Ilmu pengetahuan dan wawasan antar-bangsanya yang demikian luas telah membuat Karaeng Pattingalloang memerintah dengan bijaksana, mendampingi Raja Gowa XV, I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid Tuminanga Ri Papambatunna. Maka demikian pula kami harapkan dari putra Nusantara pewarisnya seperti Anda, Pak JK kala mendampingi Presiden Jokowi dan selanjutnya, seperti pula telah kami saksikan dulu.

Pak JK yang terhormat..

Salah satu warisan kebijaksanaan dari Karaeng Pattingalloang, yang hari-hari ini amat merisaukan kami adalah “Lima pammajenganna matena butta lompoa”. Ya, menurutnya ada lima penyebab keruntuhan sebuah negara.

Pertama, “Punna tenamo naero nipakainga Karaeng Manggauka”, apabila kepala negara yang memerintah tak lagi mau dinasehati.

Kedua, “Punna tenamo tumangngaseng ri lalang pa’ rasangnga”, apabila tak ada lagi cendikiawan yang tulus mengabdi di dalam negeri.

Ketiga, “Punna tenamo gau lampo ri lalang pa’ rasangnga”, jika terlalu banyak kasus hukum di dalam negeri, hingga menyusupkan muak di hati.

Keempat, “Punna angngallengasemmi’ soso’ pabbicaraya”, jika banyak hakim dan pejabat suka makan suap.

Dan kelima, “Punna tenamo nakamaseyangi atanna Manggauka”, jika penguasa yang memerintah tak lagi menyayangi rakyatnya.

Pak JK, Bapak lebih dapat melihat dibanding kami seberapa dari tanda-tanda yang dikemukakan Karaeng Pattingalloang ini mencekam negara kita. Maka betapa kami, kaum muslimin negeri ini, amat berharap Pak JK punya peran yang lebih besar, punya sikap yang lebih jelas, punya tindakan yang lebih gesit. Latar belakang Pak JK yang dari HMI, dari NU, dan dari Dewan Masjid; amat menentramkan kami ketika Bapak mendampingi Presiden Jokowi, meski memang Anda berdua sejujurnya bukan pilihan utama kami. Harapan bahwa kaum muslimin Indonesia akan tetap memiliki seorang “Bapak” dalam segala makna yang dikandung oleh kata itu bersiponggang dalam hati.

Terlebih hari-hari ini Pak, ketika secara ekonomi rupiah kita melemah, BBM kita naik turun, dan rakyat menatap masa depan dengan berkabut; ketika secara politik kisruh antar pemimpin partai, pejabat dan lembaga negara bekerja tebak-tebak arah, dan masyarakat sukar menemukan keteladanan pemimpin; ketika dalam hukum dan hak asasi para koruptor besar kian melenggang, para pembawa ideologi menyimpang kanan maupun kiri kian berdendang, tapi kebebasan berwawasan ummat ditebas atas nama radikalisme dengan definisi yang tak sahih; serta setumpuk rasa gelisah di hati kami. Kami merindukan pengayoman dari pemimpin yang seyakin La Ma’daremmeng dan sebijak Karaeng Pattingalloang.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement