REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Adnan Anwar menilai bergabung dengan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) adalah pilihan salah yang tidak sepatutnya diikuti oleh warga Negara Indonesia.
"Tidak ada alasan buat WNI menerima pengaruh radikal dan ikut-ikutan pergi ke Timur Tengah dan bergabung di kawasan konflik, apalagi bergabung dengan ISIS," kata Adnan di Jakarta, Jumat (17/4).
Adnan menegaskan konflik yang terjadi di Timur Tengah yang terkait dengan ISIS secara ideologi dan geopolitik sama sekali tidak terkait dengan Indonesia. Menurut dia, konflik yang melibatkan ISIS sebenarnya lebih kepada persoalan ekonomi yakni perebutan sumber daya alam di kawasan Timur Tengah.
"Jadi, kalau ada mobilisasi ISIS di Indonesia menurut saya sudah salah arah. Tidak ada jihad di situ," kata Adnan. Menurut Adnan, yang terjadi di Suriah justru saling membunuh di antara sesama Muslim.
Secara terpisah, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Andi Aulia Rahman mengatakan bahwa paham kekerasan sudah menjadi ancaman serius bagi Indonesia.
"Saat ini radikalisme sudah jadi ancaman yang membahayakan bagi generasi muda karena massif dan ternyata banyak anak muda yang terpengaruh dan kemudian berangkat ke negara lain karena yakin dengan paham radikal itu," katanya.
Menurut dia, upaya menanggulangi radikalisme tidak dapat dibebankan seluruhnya kepada negara. Justru, tameng utama untuk menahan ajaran radikalisme terletak di tangan anak muda itu sendiri.
"Cara ampuh untuk mencegah ancaman itu adalah dengan menfilter semua informasi yang diterima. Kita bisa filter informasi radikal dengan browsing di internet, bertanya ke keluarga atau dosen," katanya.
Tameng kedua untuk mencegah radikalisme, menurut Andi adalah keluarga. Ia mengatakan bahwa keluarga adalah tiang utama bagi generasi muda. "Keluarga tempat kita kembali, karena itu peran keluarga sangat kuat untuk menahan pengaruh radikalisme," katanya.