REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan tetap akan mempertahankan kebijakan ekonominya, terkait pengalihan subsidi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan penghentian bahan mentah tambang, termasuk impor bahan pangan seperti beras, jagung dan kedelai.
Jokowi menegaskan, ia siap dengan resiko tidak populer dengan kebijakan yang diambilnya. Baginya yang terpenting adalah mulai melakukan perubahan pola pikir masyarakat secara total dalam memahami kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah.
"Saya tahu dan saya sudah diingatkan oleh tangan kiri kita. Bapak kalau ini nanti dialihkan, pengalihan subdisi dari yang konsumtif dipakai kendaraan tiap hari kemudian dialihkan kepada sektor produktif, pertanian, perikanan, infrastruktur, hati-hati. Bapak bisa jatuh popularitasnya. Saya sampaikan, itu resiko sebuah keputusan," tegasnya di Surabaya, Jumat (17/4) malam.
Menurut Kepala Negara, ia sengaja fokus membenahi masalah Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menghadapi tantangan global, termasuk pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir tahun 2015 ini, karena apapun ke depan pertarungannya kualitas sumber daya manusia.
"Pertarungannya ada disitu. Bukan masalah kekuatan sumber daya alam, tetapi ada di SDM, sumber daya manusia," ujarnya.
Jokowi mengakui untuk menuju ke sana, transisinya memang memerlukan perubahan pola pikir yang total. Tidak mungkin hanya langsung merubah cepat kemudian semua rakyat bisa menerima.
Ia mencontoh soal impor beras yang sudah bertahun-tahun dilakukan. Menurut Presiden, kemarin waktu Desember – Januari sudah ada usul lagi kepadanya agar mengimpor beras dengan alasan stok kita sudah berbahaya.
"Saya cek memang tinggal sedikit. Tetapi setelah saya hitung, ini sampai berani sampai panen raya. Tetapi dengan keputusan seperti itu yang terjadi adalah spekulasi. Harga beras menjadi naik. Ini memang sebuah resiko yang harus saya ambil," jelasnya.
Diakui Presiden, jika keputusanya itu memang tidak popular. Tetapi ia menganggap harus berani merubah itu, karena jika pemerintah masih impor 3,5 juta ton per tahun, maka petani-petani Indonesia tidak akan mau berproduksi.
"Untuk apa, impor aja lebih murah. Tetapi orang berproduksi menjadi marah. Ngapain kita berproduksi. Inilah sering saya sulit menjelaskan. Tetapi ini memang harus ini dijelaskan secara gambling," tegasnya.
Diakui Kepala Negara, menahan-nahan seperti itu ada resikonya. Jokowi mengatakan kalau tidak impor berarti harganya akan naik, tetapi kalau impor dari dulu sampai sekarang akan seperti itu terus. Impor terus dan petani menjadi tidak rajin untuk berproduksi. Demikian juga dengan jagung, berapa juta ton kita impor.
"Inilah yang terus kita tahan. Gula juga sama, kedelai juga sama. Inilah yang ingin kita benahi tetapi sekali lagi memerlukan perubahan pola pikir, total cara cara kita berproduksi," jelasnya.
Presiden juga mengemukakan, saat memutuskan pengalihan pengalihan subsidi BBM dari yang konsumtif kepada yang produktif coba, semuanya demo. Padahal, jelas Presiden Jokowi, pemerintah ingin mengalihkan subsidi dari konsumtif kepada produktif.
"Sudah berpuluh puluh tahun kita menikmati subsidi itu tanpa terasa. Setahun Rp 300 triliiun hilang menjadi asap menjadi. Kalau 10 tahun menjadi Rp 3 ribu triliun," katanya.
Padahal, lanjut Jokowi, sesuai dengan hitungan yang dimilikinya, untuk membangun jalur kereta api di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara sampai di Papua itu hanya butuh duit Rp 360 triliun. "Tapi sampai saat ini kita tidak bisa membangun karena tiap hari kita bakar yang namanya BBM itu dengan subsidi," ucapnya.
Menurut Jokowi, setelah ia cek, yang menikmati subsidi Rp 300 triliun per tahun itu, 82 persen adalah mereka yang punya mobil. Ia mempertanyakan hal itu, karena yang punya mobil disubsidi, yang lain malah tidak.