REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik, Sofyano Zakaria berpendapat, BBM pertalite RON 90 sudah diketahui masyarakat, murni produk bisnis Pertamina. Bensin itu dijual dengan harga non subsidi di bawah harga pertamax tetapi diatas harga premium RON 90.
"Pertalite merupakan produk corporate actionnya Pertamina sama halnya dengan pertamax. Jadi sangat aneh jika Komisi VII DPR RI mempermasalahkan diedarkannya pertalite," katanya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (2/5).
Menurut Sofyano, jika DPR RI akan mempermasalahkan pertalite, seharusnya mereka juga mempermasalahkan diedarkannya pertamax oleh Pertamina, dan BBM non subsidi lain yang dijual oleh SPBU asing di negeri ini.
"Karena, pertalite adalah produk non subsidi, maka menurut UU, hal itu tidak perlu mendapat persetujuan atau bahkan tidak perlu di laporkan ke Komisi VII DPR RI. Namun saya bisa memahami sikap Komisi VII yang mungkin khawatir jika diedarkannya pertalite, maka premium RON 88 akan ditarik atau dikurangi pasokannya secara diam-diam di SPBU," ujarnya.
Seharusnya, kata Sofyano, Komisi VII meminta jaminan dari Pemerintah bahwa premium RON 88 akan tetap tersedia di SPBU dan bukannya 'melarang' Pertamina mengedarkan Pertalite. Karena dihapus atau dikuranginya pasokan Premium RON 88 merupakan keputusan pemerintah bukan Pertamina.