REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Noorhaidi Hasan, menilai pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dalam menanggapi wacana perekrutan penyidik dari kalangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai tindakan menengahi. Pernyataan itu sekaligus menjadi sinyal bahwa wacana yang dilontarkan KPK sulit dilakukan.
“Wapres sudah melihat bahwa KPK ingin memainkan peran TNI secara politis. Daripada semakin berlarut, Wapres mencoba menengahi,” ujarnya saat dihubungi ROL, Sabtu (9/5).
Selain menengahi, lanjut Noorhaidi, pernyataan JK sekaligus sebagai sinyal kuat bahwa wacana KPK merekrut penyidik dari KPU sulit dilaksanakan. Ia menilai, wacana yang dilontarkan KPK berisiko membenturkan dua lembaga negara secara politis.
“Jika wacana itu benar-benar terlaksana, kondisinya akan sulit karena peluang saling meninggikan wibawa lembaga negara sangat mungkin terjadi. Harus ada dialog dari intensif antarlembaga negara agar bisa seiring sejalan,” tambah dia.
Lebih lanjut, Noorhaidi menyatakan belum melihat urgensi dari pilihan KPK terhadap TNI. Wacana itu dinilai masih kental muatan unsur politisnya dibandingkan unsur kemanfaatannya.
Disinggung tentang perlunya pernyataan Presiden untuk menengahi polemik ini, Noorhaidi menegaskan tidak perlu. “Pernyataan JK sudah merupakan sinyal kuat, jadi tidak perlu ada penegasan. Selanjutnya pasti ada reaksi berbagai pihak yang bisa saja mendorong atau mencegah wacana ini terlaksana,” tutupnya.
Diberitakan sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak bisa menjadi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut JK, sesuai dengan peraturan yang ada, penyidik berasal dari kepolisian dan kejaksaan, bukan dari TNI.
Meski demikian, JK menjelaskan jabatan Sekretaris Jenderal (Sekjen) di KPK dapat diisi oleh purnawirawan TNI. Sebab, telah disebutkan dalam undang-undang bahwa perwira TNI yang masih aktif tidak bisa mengisi jabatan Sekjen.