REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eesa Ashby asal London, Inggris masih berusia 13 tahun ketika ia memutuskan untuk menjadi seorang Muslim. Eesa berani bersahadat setelah menyadari betapa ilmiahnya kitab yang dipedomani Muslim; Alquran.
Seperti dilansir Onislam.net, Jumat (15/5), ketertarikan Eesa berawal ketika sepupunya yang berusia 15 tahun masuk Islam. Saat itu Eesa baru masuk sekolah menengah. Sepupunya itu datang ke rumah dan memberitahu keluarganya tentang keislamannya.
Sontak, seluruh anggota keluarga menolak pengakuan sang sepupu hingga terlibat dalam perdebatan. Tetapi Eesa hanya tenang mendengarkan.
Suatu hari, ketika Eesa sedang berada di rumah, sepupunya menelepon dan memintanya datang berkunjung. Berangkatlah Eesa ke rumah sepupunya itu. Di sana, sepupunya itu menunjukkan Alquran padanya. Itulah kali pertama Eesa berinteraksi dengan Alquran.
“Apakah kau tahu apa ini?” tanya sepupunya. Eesa mengakui ia tidak tahu apa-apa tentang Islam dan Alquran. Dia hanya tahu apa yang telah dikatakan ibunya tentang Kristen.
Sepupunya kemudian menjelaskan, Alquran itu seperti Alkitab bagi Kristen. Tetapi Alquran adalah kitab suci umat Islam. Ia juga menjelaskan tentang Allah SWT dan utusan-Nya Nabi Muhammad SAW. Alquran, kata sepupu Eesa, diturunkan Allah kepada Muhammad.
Eesa bukanlah anak yang percaya terhadap mitologi. Orang-orang berbicara tentang pengalaman spiritual mereka ketika masuk Islam, tapi bagi Eesa itu adalah tentang fakta dan angka. Karena itu, mukjizat ilmiah dalam Alquran lah yang kemudian membuatnya tertarik.
Fakta ilmiah yang menarik perhatiannya adalah pembentukan bayi dalam rahim seorang ibu, bintang-bintang, lautan, dan bagaimana ilmu pengetahuan saat ini mengakui semua fakta tersebut. Eesa pun terpesona. Eesa tidak tahu ada orang-orang yang telah berbicara tentang fakta-fakta ilmiah ini sebelumnya, tapi satu yang pasti, semuanya benar.
Setelah sepupunya menjelaskan dasar-dasar Islam, ia mulai membaca tentang shalat dan mempelajarinya. Dia memiliki buku dengan transliterasi bahasa Arab dan gambar-gambar yang menunjukkan tata caranya.
Pada awalnya, Eesa tidak memberitahu siapa pun jika dia telah menjadi seorang Muslim. Dia merasa belum siap menghadapi komentar dan kritik.
Eesa mengakui, perjalanannya ke Mesir dan Yaman telah banyak mengajarinya tentang keluasan rahmat Islam. Tapi saat itu, ia berpikir untuk menyimpannya sendiri sementara waktu. Dia bahkan belum mengenal Muslim lainnya, kecuali sepupunya.
Eesa juga banyak belajar. Ia membeli buku tentang tauhid, shalat, puasa, kehidupan Nabi, para sahabat, serta empat Khulafaur Rasyidin dari toko buku setempat.
Tiga atau empat bulan kemudian, ia menghadiri ceramah di rumah seorang mualaf, Abdur Rahman Green, di London Selatan. Semua orang duduk berdesakan sambil mendengarkan dengan penuh perhatian. Eesa belajar banyak tentang dasar-dasar Islam dari pertemuan tersebut.
Eesa pun menginjak usia 15 tahun dan akhirnya berani berbicara tentang keislamanya. Kini dia memiliki seorang teman yang juga mualaf. Mereka berdua saling membantu satu sama lain, termasuk pergi ke Masjid bersama-sama. Meski, mereka sering mendapat kesulitan saat harus menghadiri shalat Jumat.
Bagi Eesa, Islam sangat masuk akal. Dia mengerti mengapa alkohol dilarang. Masuk akal baginya jika seseorang tidak boleh meminum minuman yang berbahaya. Ia juga banyak belajar di rumah Green tentang apa yang ia boleh dan tidak boleh dilakukan.