REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cara membaca Alquran merupakan hasil karya seni manusia yang dirangkum dalam kallamullah. Hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam melaikan lahir dari seni budaya masyarakat ternantu.
"Ini adalah perpaduan yang baik antara seperti langit kallamullah yang menyatu dengan bumi yakni budaya manusia. Itu sah diperbolehkan,"kata Rektor Institut Ilmu Alquran, Ahsin Sakho, Ahad (17/5).
Hanya saja, Ahsin melanjutkan, bacaan pada langgam budaya harus telap berpacu seperti yang diajarkan Rasul dan para sahabatnya. Dalam hal ini, tajwid dalam hukum bacaannya. "Panjang pendeknya, mahrojnya," kata dia.
Ahsin mengungkapkan, saat ini masyarakat Indonesia hanya mengenal satu pintu dalam mendengarkan cara melantunkan Alquran. Seluruhnya terangkum dalam tujuh seni dalam membaca Al-Quran yakni Bayyati, Shoba, Nahawand, Hijaz, Rost, Sika, dan Jiharka.
Dalam Ketujuh jenis itu terdapat tingkatan dan variasi nada yang berbeda. "Sejarah cara melantunkan Alquran ini berasal dari Iran. Banyak orang Arab yang banyak belajar ke Parsi, Iran. Mekipun ada 40 jenis cara membaca tapi yang dinilai layak hanya tujuh ini,"ungkapnya.
Ahsin mengkisahkan, langgam bacaan Alquran berasal dari Iran ketika itu orang Makkah dan Madinah sedang membersihkan Kabah. Di sana ada orang Farsi yang sedang melantunkan bacaan langgam nada lagu asal negerinya tu.
"Ketika itu orang Makkah menerapkannya ke dalam bacaan Alquran dan ternyata merdu didengar. Sejak saat itu pun lahirlah lagu sarqi yang bernuansa ketimuran," kata dia.
Dalam melantunkan Alquran, kata Ahsin, ada yang bernada sedih dan bernada gembira dalam membaca setiap surah di dalamnya. "Itu akan lebih bermakna dan bagus. Misalkan saat menjelaskan Neraka ataupun surga,"ujar Ahsin.
Ahsin kembali menjelaskan, cara membaca Alquran yang mengacu pada langgam budaya Indonesia sangat diperbolehkan dan tidak ada dallil shohih yang melarang hal demikian. Hanya saja, dia melanjutkan, dirinya belum pernah mendengar Jawabul Jawab di dalam langgam Cina, atau pun di Indonesia.
"Tetapi jika hanya sekedar langgam Jawa, Sumatra, Sunda, melayu dan lainnya itu sah saja selama memperhatikan hukum bacaan semestnya. Itu kratifitas budaya nya," kata dia.