REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari kebangkitan nasional yang diperingati setiap 20 Mei, didasarkan pada lahirnya organisasi Budi Utomo, tahun 1908. Namun, menurut catatan sejarah, tonggak sejarah pergerakan kebangsaan sudah ada sebelum tahun 1908. Tepatnya, ketika organisasi Sarekat Islam (SI) berdiri pada 1905.
Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto merupakan tokoh yang membesarkan nama SI. Di bawah kepemimpinan Tjokroaminoto, pada 1916 keanggotaan SI tercatat sebanyak 800 ribu orang, yang tersebar di Jawa dan Sumatera serta beberapa pulau lainnya. Catatan dari WF Wertheim, seorang sosiolog Belanda, bahkan menyebut angka dua juta keanggotaan.
Bandingkan dengan Budi Utomo yang beranggotakan 10 ribu orang; atau PKI yang hingga tahun 1938 punya anggota sebanyak 250 ribu orang. Dengan demikian, tak berlebihan bila SI dinilai sebagai organisasi perintis lahirnya pergerakan kebangsaan berskala nasional di Hindia Belanda (Indonesia).
Hal itu antara lain disampaikan Dr Aji Dedi Mulawarman, penulis buku 'Jang Oetama Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto.'
Menurut dosen Universitas Brawijaya ini, pengaruh Tjokroaminoto mampu membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia pada saat itu. Aji menyebut, saat itu, masyarakat Nusantara tengah dirundung dua mental yang rusak.
"Pertama, mental pasrah rakyat. Yaitu, mental subordinat tanpa daya. Disebut beliau (Tjokroaminoto) sebagai wong cilik atau wong kromo yang telah habis energi karena represi tak berkesudahan," ucap Dr Aji Dedi Mulawarman, di acara peluncuran buku karyanya itu di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (20/5).
"Kedua, mental ambtenaar, yaitu priyayi londo bulak, boyo putih," sambung Aji. Adapun mental ambtenaar itu, menurut akademisi ini, diidap oleh kalangan bangsawan yang telah luruh harga diri dan pengaruhnya di masyarakat pribumi lantaran mereka berkhidmat sebagai pegawai birokrasi kolonial.
Dua mental yang merendahkan jati diri itu masih ada bahkan pada zaman modern kini. Tjokroaminoto, lanjut Aji, pernah menulis sebuah puisi yang dengan lantang mengkritik sikap self interest para bangsawan itu. Puisi itu berjudul Dunia Bergerak.
"Lelap terus, dan kau dipuji sebagai bangsa yang terlembut di dunia. Darahmu dihisap dan dagingmu dilalap sehingga hanya kulit tersisa. Siapa pula tak memuji sapi dan kerbau? Orang dapat menyuruhnya kerja, dan memakan dagingnya. Tapi kalau mereka tahu hak-haknya, orang pun akan menamakannya pongah, karena tidak mau ditindas," demikian Aji membacakan penggalan puisi karya Tjokroaminoto.
Pada akhirnya, papar Aji, tokoh yang oleh penulis Belanda digelari De Ongekroonde Koning van Java atau 'Raja Jawa tanpa Mahkota' ini lantas memilih jalan ketiga, yakni Pergerakan Berkesadaran.
"Beliau menanggalkan simbol priyayi, pangkat, dan zona nyaman, dan memilih menjadi bagian //wong kromo// sekaligus melakukan penyadaran," katanya.
"Melalui //Zelfbestuur//, yaitu pemerintahan yang membawa nasionalisme ber-Tuhan Allah, bukan benda," jelas dia.
Pengaruh Tjokroaminoto dalam membangkitkan semangat nasionalisme tidak hanya diakui pihak kolonial Belanda. Rakyat pada saat itu, menurut Aji, banyak yang menganggap Tjokroaminoto sebagai sosok pengayom.
"Berkat kesungguhan dan keberaniannya (Tjokroaminoto), mereka menyebut Pak Tjokro sebagai 'Jang Oetama'," tutup Aji.