REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Tjandra Yoga Aditama mengatakan kampanye antirokok nasional belakangan ini lebih difokuskan pada kaum remaja.
Menurut Tjandra, pihaknya telah menyelesaikan analisis Global Youth Tobacco Survey (GYTS) untuk tahun lalu. GYTS merupakan data termutakhir mengenai kebiasaan merokok yang dilakukan oleh kaum remaja di tiap negara, dalam hal ini Indonesia.
"Ini bagian dari penelitian internasional yang juga dilakukan di 47 negara dengan metode yang sama," ujar Tjandra Yoga Aditama dalam pesan singkat yang diterima Republika, Ahad (31/5).
GYTS dilakukan terhadap pelajar tingkat SMP dengan rentang usia 13-15 tahun. Menurut Tjandra, survei ini mengungkapkan fakta, bahwa sebanyak 18,3 persen pelajar Indonesia sudah terbiasa merokok.
Dari jumlah tersebut, remaja laki-laki mendominasi. Total anak-anak muda yang disurvei, yakni 5.981 orang yang mencakup 72 sekolah dengan sampel 212 kelas. Tjandra lantas membandingkan temuan pada anak-anak SMP ini dengan data perokok usia 15 tahun ke atas. "Artinya, dengan bertambahnya umur, maka persentase perokoknya terus meningkat," kata dia.
Dengan demikian, lanjut dia, bila angka perokok muda bisa ditekan, maka di masa depan jumlah perokok dewasa dapat dikendalikan dengan relatif mudah. Menurut Tjandra, dalam hal ini program penanggulangan rokok di lingkungan sekolah berperan urgen.
"Jangan ada guru dan murid yang merokok di lingkungan sekolah. Jangan ada penjual rokok di sekitar sekolah," ucap dia.
Berapa batang rokok yang dikonsumsi anak-anak muda per hari? Tjandra menjelaskan, berdasarkan GYTS 2014, sebagian besar perokok muda itu masih merokok sebanyak lima batang per hari. Namun, sebanyak 11,7 persen pelajar laki-laki dan 9,5 persen pelajar perempuan diketahui sudah mulai merokok sebelum usia mereka menginjak tujuh tahun.
"Ini harus ditanggulangi dengan ketahanan keluarga, di mana tentu tidak ada orang tua yang ingin anak kecilnya sudah mulai merokok," kata Tjandra.
GYTS 2014 juga mengungkapkan, hampir separuh (47,2 persen) pelajar merokok dengan status adiksi atau ketagihan. Biasanya, lanjut Tjandra, mereka ini menunjukkan ketagihan dengan cara, selalu ingin merokok ketika bangun tidur. Dengan kata lain, mereka sulit memulai aktivitas tanpa menghisap zat berbahaya itu.
"Di sisi lain, hampir semua perokok pelajar yang diteliti GYTS 2014 (88,2 persen) sebenarnya ingin berhenti merokok, walaupun hanya seperempatnya (24 persen) yang pernah menerima bantuan program profesional untuk berhenti merokok." Menurut Tjandra, setidaknya ada tiga alasan bahwa konsen lebih ditujukan kepada kaum remaja.
Pertama, ada banyak perokok yang memulai kebiasaannya sejak masih remaja. Kedua, kondisi psikologis remaja yang masih dalam pencarian jati diri, sehingga sangat mungkin terpengaruh oleh ajakan atau bahkan iklan rokok--yang mencitrakan rokok sebagai identitas yang menaikkan harga diri.
Ketiga, Tjandra menuturkan, bila seseorang sudah merokok sejak usia di bawah 20 tahun, maka pada saat dia berusia 40-50 tahun, sangat mungkin dia mengalami penyakit yang diakibatkan oleh akumulasi paparan asap rokok di tubuhnya.