REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Ishomuddin mengatakan salah satu yang akan dibahas dalam forum Muktamar NU di Jombang pada Agustus lalu, adalah mengenai perspektif fikih tentang pemakzulan Presiden dan juga pejabat-pejabat di bawahnya.
Namun Ahmad mengatakan, tujuan pembahasan itu bukan untuk memakzulkan rezim yang sedang berkuasa saat ini, akan tetapi untuk menguatkan NKRI agar tidak lagi diganggu dengan isu-isu pemakzulan.
"Muktamar (nu) salah satunya akan membahas hukum mengenai pemberhentian presiden dan pejabat-pejabat di bawahnya, bukan persoalan mau menjatuhkan presiden tapi untuk menguatkan NKRI," kata kepada Republika, Jumat (5/6).
Selain itu, pembahasan ini kata Ahmad juga diharapkan agar para ulama punya landasan fikih yang tetap mengenai mekanisme pengangkatan dan juga mekanisme pemberhentian pemimpin, tidak hanya presiden, tapi juga pemimpin-pemimpin lainnya seperti gubernur, Bupati ataupun walikota.
Ahmad menyebut pascatahun politik 2014, kestabilan NKRI sering terganggu dengan maraknya isu pemakzulan yang digencarkan oleh pihak-pihak yang masih tidak terima jabatan presiden yang dipegang oleh Joko Widodo.
Meskipun perundang-undangan Indonesia sudah mengatur hal tersebut, kata Ahmad juga diperlukan perspektif fikih untuk agar dua-duanya saling menopang. Agar, isu-isu pemakzulan kata Ahmad tidak lagi sembarangan diluapkan.
"Juga perlu dari perspektif fikih. Kalau menyoal kepada Undang-Undang yang udah ada. Supaya para ulama tidak mempersoalkan lagi mengenai masalah itu. Kita harus sama-sama menjaga negara ini," jelasnya.
Selain, membahas hukum dan fikih pemakzulan, forumk Muktamar NU kata Ahmad juga akan membahas mengenai janji-janji calon pemimpin baik itu presiden maupun kepala daerah. Menurut Ahmad, NU juga perlu mengkaji bagaimana status dan hukum janji-janji kampanye yang diumbar untuk menarik perhatian rakyat.
"Janji-janji politik juga menjadi isu yang bagus. Janji calon pemimpin pemerintahan itu juga yang ketika sudah berhasil menjabat tidak terpenihi. Bagaimana status janji ini, bagaimana hukum tidak tepati janji, bagaimana sikap rakyat terhadap pemimpin yang tidak tetapi janji," tandasnya.