REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim hukum Kemenpora Faisol Ahmad meminta Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) cabut putusan sela. Ia mengatakan keputusan sela seperti menjadi penghalang kemenpora untuk melakukan perbaikan.
Karena selama keputusan itu keluar, PSSI tidak melakukan sesuatupun yang kongkrit untuk perbaikan. "Kita minta PTUN cabut keputusan sela," kata Faisol kepada media di Kantor Kemenpora, Senin (8/6).
Faisol menegaskan selain tidak melakukan sesuatu yang kongkrit, tuntutan PSSI juga tidak masuk akal. Dalam gugatannya, PSSI menyebut surat keputusan pembekuan yang dikeluarkan kemenpora merugikan kepentingan umum.
Karena pembekuan itu, PSSI tidak bisa menjalankan kompetisi sehingga klub, pemain dan pelatih kehilangan pencarian musim ini. Bahkan PSSI juga menyebut sanksi FIFA juga merupakan produk dari SK Pembekuan PSSI.
Padahal, kata Faisol, SK pembekuan kemenpora sama sekali tidak menyebabkan klub, pemain atau pelatih kehilangan pencarian. Kemenpora hanya membekukan PSSI berdasarkan teguran tertulis satu sampai tiga karena memainkan dua keseblasan yang bermasalah.
Dalam SK itu, Kemenpora tidak menyebut larangan untuk PSSI menggulirkan kompetisi. Kemenpora mempersilahkan PSSI untuk mengadakan kembali kompetisi dengan 16 klub lolos verifikasi BOPI.
Namun, PSSI tidak menjalankannya. PSSI malah menghentikan kompetisi itu dengan mengeluarkan keputusan force meajure (keadaan darurat). Ia mempertanyakan dengan menghentikan kompetisi itu, siapa yang merugikan kepentingan umum.
"Siapa yang rugikan kepentingan umum. Kemenpora tak hentikan kompetisi. Tapi PSSI yang hentikan dengan keputusan force meajure," kata Faisol.
Begitujuga dengan alasan kedua PSSI. Faisol menjawab sanksi FIFA hanya melarang Indonesia untuk berlaga di tingkat internasional, bukan nasional. Sehingga masih ada peluang untuk tetap melanjutkan kompetisi di negara sendiri.