REPUBLIKA.CO.ID, Haedar Nashir, lahir di Bandung, 14 Juli 1963. Sehari-hari bekerja sebagai dosen di Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Menamatkan pendidikan dasar di Bandung kemudian hijrah ke Yogyakarta untuk memperoleh gelar S-1 di STPMD Yogyakarta. Gelar S-2 dan S-3 diperoleh di Fisipol UGM pada bidang sosiologi.
Penulis buku Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010) ini pernah menjadi Ketua PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah periode 1983-1986 dan Ketua Dep Kader PP Muhammadiyah periode 1985-1990. Kini, menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah.
Dalam soal demografi penganut keagamaan, bagaimana sikap Muhammdiyah ke depan mengatasi soal ini. Apakah Muhammdiyah juga melihat terjadinya perubahan?
Kalaupun ada perubahan demografi, dalam kaitannya terjadi konversi penganut keagamaan, meski ada perubahan, jumlahnya tak signifikan. Tahun 2000 jumlah penganut Muslim Indonesia porsinya mencapai 88,22 persen.
Dan, pada 2010 angka menjadi 88,21 persen. Tapi, ingat di 'tempat lain' juga terjadi pergeseran segmented atau konversi dari kelompok keagamaan yang satu ke lainnya. Jadi, di sini terlihat jelas 'konversi' itu hanya soal ke luar masuk saja.
Namun, di sini ada juga dua persoalan serius lainnya. Pertama, munculnya gejala tukar posisi spritulaitas. Dulu misalnya, di kalangan Muslim kelompok yang kerap dikategorikan sebagai 'Islam abangan' kini banyak sekali yang ingin ber-Islam lebih baik. Cuma masalahnya pintu untuk masuk menjadi Islam yang saleh itu seperti apa.
Nah, ini uniknya yang kedua. Saya lihat kelompok santri kini malah makin 'pragmatis' hidupnya atau bahkan sebagian cenderung menjadi lebih sekuler. Gejala ini harus dicermati ke depan. Sebab, kalau tukar posisi ini tidak bisa ketemu di tengah, bahkan kemudian berubah ekstrem di mana yang santri malah jadi abangan maka pasti akan terjadi benturan sosial.
Dalam kancah internasional (negara barat dan Amerika Serikat) tetap masih menganggap Muhammadiyah sebagai kekuatan Muslim Indonesia yang sukar diatur atau malah tetap dikategorikan radikal. Bagaimana ke depan Muhammadiyah menanggapi ini?
Ya, ke depan malah akan makin sukar diatur lagi. Apalagi, nanti Muhammadiyah makin punya kekuatan dalam sektor ekonomi, pasti kami akan kian susah didikte lagi. Dan, dalam konteks kapitalisasi global memang harus ada hal yang perlu dinegosiasikan.
Pertama, Muhammdiyah dan kelompok Islam lainnya harus menjadikan Indonesia sebagai rumahnya sendiri yang harus diproteksi dari kekuatan-kekuatan eksploitatif di balik globalisme, liberalisme, dan ideologi lainnya.
Kedua, bila sudah menjadi kekuatan riil ini maka saya yakin kekuatan globalisasi dan liberalisme tidak akan bisa mendikte Indonesia. Kami paham ketika muhammadiyah mengajukan judicial review di Mahkamah Konsitusi mengenai perundangan tata kelola sumber daya alam—yang terakhir soal tata kelola air—maka mereka itu luar biasa ribut. Sebab, selama kekuatan itu seolah tanpa kritik sehingga kalau mereka mencuri maka tak ada pihak yang berani meributkannya.
Untuk itu, tugas Muhammadiyah bersama ormas dan kekuatan masyarakat lainnya ke depan harus menyelematkan negara dari kepungan kekuatan asing yang menggerogoti kemandirian bangsa. Kami tahu mereka juga masuk melalui kekuatan negara atau kekuasaan, yakni melalui aktor penguasa dan aturan perundangan. Namun, tugas kami adalah menyadarkan ancaman itu secara terus-menerus.
Belakangan banyak penelitian mengatakan, ajaran Islam sudah begitu dalam masuk ke sanubari orang Indonesia dan situasi ini tidak bisa lagi balik kepada situasi yang terjadi pada masa 70 tahun silam. Bagaimana Muhammadiyah menanggapi fenoma ini?
Ya, dulu memang ada situasi di mana ajaran Islam 'sebatas kulit ari'. Di Jawa situasi ini muncul dengan istilah Islam abangan itu. Dan di sini, memang ada kesalahan konstruksi di dalam memandang hal ini. Misalnya, dalam tesis Clifford Gertz The Religion of Java ada ajaran Jawa yang sinkretis dengan Islam (atau Islam yang menjauh dari Jawa). Padahal sebenarnya, tidak begitu karena yang terjadi adalah Islam yang menyatu dengan kejawaan dan kejawaan yang menyatu dengan Islam namun dalam proses yang tidak berhenti. Pandangan Geertz itulah yang kemudian dikoreksi oleh banyak kalangan datang kemudian.
Selanjutnya, pada kenyataannya kian terbukti bahwa Islam selain merupakan dimensi spiritual juga merupakan dimensi rasional. Nah, masyarakat kian lama ke depan makin rasional dan terus bergerak dari budaya tradisional yang menggunakan nalar komunal menjadi masyarakat yang modern berkemajuan. Nah, di sini kemudian muncul kesadaran bahwa Islam ternyata bisa menjadi jalan yang nyaman bagi pemenuhan sisi spiritual dan di pihak lain menjadi jalan bagi mobilitas hidup yang maju.
Memang dulu di dalam proses perjuangan kemerdekaan, proklamasi kemerdekaan, hingga merebut dan mempertahkan kedaulatan sampai dengan ketika harus menghadapi situasi kenegaraan yang pelik (krisis 1965), kekuatan Islam menunjukkan perannya. Tapi memang, setelah itu, tampak jelas peran Islam kemudian dipinggirkan. Bahkan, konstruksi Snouck Hurgronje bahwa Islam merupakan ancaman diimplementasikan kembali.
Nah, ke depan Muhammadiyah ingin mengakhiri situasi bahwa Islam adalah lawan dari negara. Dan, sejak Tanwir Bandung tahun 2012 di sana ditetapkan bahwa Indonesia adalah darul ahdi wasahadah (negara hasil konsensus bersama yang tak bisa dikhianati oleh siapa pun).