REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Ali Chandra (30 tahun) keluar dari salah satu sentral penukaran mata uang (money changer) di Jalan Seminyak, Denpasar, Rabu (10/6) siang. Dia mengantongi uang lebih dari Rp 130 juta usai menukarkan 10 ribu dolar Amerikanya.
Momen penguatan dolar AS terhadap Rupiah membuat sebagian masyarakat Bali yang menyimpan mata uang asing dalam jumlah besar berbondong-bondong menukarkan dolarnya.
Alasan mereka rata-rata sama, sedang membutuhkan tambahan biaya untuk bisnis. Entah itu alasan sebenarnya, atau entah segan mengakui bahwa Rupiah memang kian terpuruk saat ini dan saatnya memanen keuntungan. "Untuk tambahan modal usaha," terang Ali kepada Republika, Rabu (10/5).
Petugas di tempat penukaran mata uang asing PT Bali Maspinjira, Ni Wayan Nurmianti mengakui terjadi peningkatan jumlah pengunjung dan transaksi masyarakat menjual dolar Amerika.
Pada Rabu (10/6), kurs jual mencapai Rp 13.300 per dolar AS, sedangkan kurs beli Rp 12.950 per dolar AS. Selain dolar, banyak juga pengunjung yang menukarkan mata uang lain, seperti dolar Australia yang dihargai Rp 10.220, atau dolar Singapura sekitar Rp 9.820.
"Peningkatan pengunjung dan jumlah transaksi sudah terjadi sepekan terakhir," kata Nurmianti dijumpai Republika.
Nurmianti mengatakan sebagian besar pengunjung adalah mereka yang mempunyai bisnis di Bali, seperti properti, vila, perusahaan lokal, furniture, juga wisatawan.
Diakuinya, sejak dolar menanjak menyentuh Rp 13.300, ada pengunjung yang menukarkan dalam jumlah besar hingga satu miliar rupiah. Meski demikian, Nurmianti menolak menyebutkan berapa kenaikan nilai transaksi penukaran.
"Kenaikannya cukup pesat, penukar terbesar bernilai satu miliar rupiah, sementara lainnya rata-rata menukarkan 10 ribu dolar AS," tambahnya.
Secara pribadi Nurmianti mengaku tak senang Rupiah terpuruk serendah ini. Penguatan dolar dinilainya tak akan memberi keuntungan bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah, sebab gaji pegawai tak mungkin naik mengikuti dolar AS. Ia berharap mata uang nasional bisa kembali stabil di level Rp 12.000 per dolar AS.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) dan Rupiah terus terjun bebas pada perdagangan beberapa hari terakhir. Sebagian pelaku pasar menilai pemerintah belum berhasil membalikkan kondisi perlambatan ekonomi Indonesia. Pasar tampak kecewa melihat pembangunan infrastruktur yang tak kunjung terlaksana seutuhnya.
Lesunya pertumbuhan global, terutama perlambatan ekspansi ekonomi Cina --salah satu mitra dagang utama Indonesia-- juga bermasalah. Bank Indonesia (BI) menyatakan siap untuk masuk ke pasar valuta asing dan obligasi untuk memerangi volatilitas.
Imbas hasil dari obligasi pemerintah bahkan sudah mencapai 8,325 persen dan merupakan yang tertinggi ditahun ini.