REPUBLIKA.CO.ID, BRADFORD -- Sejak musim gugur lalu, Zohra Dawood (32 tahun) bersama kedua anaknya meninggalkan rumahnya di Bradford, Inggris. Awalnya, Zohra diyakini pergi ke rumah ayahnya yang berjarak sekitar satu mil dari Bradford. Adapun suami Zohra, beberapa pekan kemudian, beranjak pergi ke rumah ayahnya di Pakistan.
Namun, Zohra diketahui justru mengajak kedua saudara perempuannya, Khadija (29) dan Sugra (34), dan membawa sembilan anak-anak mereka. Tiga bersaudara ini mulai meninggalkan Inggris pada akhir Mei lalu untuk menunaikan ibadah di Madinah, Arab Saudi.
Pada 9 Juni 2015, ketika transit di Istanbul, Turki, mereka justru enggan meneruskan perjalanan pulang ke Inggris. Alih-alih, menurut keterangan yang diperoleh BBC, Jumat (19/6), 12 orang ini diyakini melintas batas ke Suriah.
Mereka bukan orang Bradford pertama yang pergi ke Suriah. Saudara laki-laki Zohra, Ahmed Dawood (21) diketahui telah ikut menjadi simpatisan ekstremisme lebih dari setahun lamanya. Bahkan, pada Rabu (17/6) lalu, seorang remaja berusia 19 tahun, Syed Choudhury, mengaku di depan pengadilan bahwa dirinya telah membuat plot aksi terorisme di Inggris.
Menurut pakar psikologi dari Universitas Maryland, Prof Arie Kruglanski, salah satu hal penting bagi perkembangan ekstremisme ialah dukungan sosial. Dalam arti, seorang simpatisan didorong untuk mengajak para sanak familinya untuk ikut serta dalam pergerakan ekstrem.
“Ini sangat penting, ketiga perempuan bersaudara itu pergi (dari Inggris) secara berombongan, yakni untuk menunjukkan dukungan terhadap saudara lelakinya. Sebuah kelompok cenderung lebih menghadirkan polarisasi, sehingga bisa jadi lebih ekstrem ketimbang individu,” ujar Arie Kruglanski kepada The New York Times, Jumat (19/6).
Arie menambahkan, badan keamanan Eropa akan kesulitan dalam mendeteksi simpatisan ekstremis. Sebab, simpatisan ini bergerak secara hati-hati di dalam ruang privat semacam keluarga.